Undangan Abstrak Makalah - Call for Abstract (Scroll down for English)
KOFI KAFEIN II: Film dan "Keindonesiaan": Meredefinisi Indonesia dalam Sinema
Konferensi Internasional Film Indonesia (KOFI) Asosiasi Pengkaji Film Indonesia (KAFEIN) II, 28-30 Agustus 2019, Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta
Didukung oleh Badan Perfilman Indonesia (BPI)
Unsur lokal yang tepat meningkatkan
signifikansi film dan memberikan daya tarik yang lebih besar bagi penonton film
lokal. Reformasi politik pada tahun 1998 mengurangi kendali terhadap konten
politik dan kebudayaan. Pemerintah Indonesia telah lebih lunak
dalam menerima nilai-nilai budaya yang berbeda. Masyarakat bisa lebih bebas
melakukan aktivitas perfilman, melakukan produksi dan mendiskusikan film
dengan representasi nilai-nilai lokal. Meningkatnya kecanggihan teknologi
media, peningkatan akses ke peralatan pembuatan film digital, dan berbagai
proyek aktivisme video, lokakarya film, dan program literasi media telah
menciptakan peningkatan jumlah komunitas film di seluruh nusantara, memunculkan
semakin banyak film dengan isi lokal dan menggali cara-cara lokal untuk melakukan
produksi dan distribusi film.
Di awal
bangkitnya film Indonesia, salah satu diskusi yang paling intens adalah pembahasan cara memproduksi film yang khas Indonesia, karena perbedaan kondisi
yang khusus, misalnya sinematografi tropis dan lembab, atau cara berproduksi tanpa infrastruktur film yang lengkap. Diskusi intens lain saat
itu membahas sedikitnya film yang menemukan inspirasi mereka dalam kekhasan
sosial, politik dan budaya lokal. Diskusi semacam itu
biasanya menyimpulkan bahwa produksi film layar lebar di Indonesia saat itu
mengikuti logika pasar yang sederhana. Ini asumsi yang sama dengan yang
dimiliki oleh perusahaan-perusahaan film besar di dunia dalam mengejar pasar
penonton global: bahwa penonton lebih menyukai hiburan ringan dan nilai-nilai
universal, dan karenanya mereka memproduksi lebih banyak film dengan konten
universal dan lebih sedikit film dengan cerita lokal. Bagaimana pun, beberapa tahun kemudian beberapa film Indonesia terlaris telah
menggunakan isu lokal (Indonesia) untuk menarik lebih banyak penonton. Di sisi lain, cara membuat film serta cara memastikan
film sampai ke penontonnya, juga telah menemukan cara-cara yang khas Indonesia,
menambah kekuatan film lokal. Kita juga telah mendengar kisah-kisah sukses dari
Bollywood, Korea, dan Cina, yang produk-produk lokalnya mengalahkan produk
impor. Ini semua memberikan dukungan terhadap gagasan bahwa konten
dan cara lokal yang tepat baik untuk bisnis maupun signifikansi produknya. Bagaimana pun, terbatasnya tempat berjualan -dalam hal ini bioskop- dan kebijakan yang kurang berpihak membuat industri film masih lebih banyak memilih konten dan cara produksi yang universal, yang dianggap lebih aman.
Konferensi KOFI
KAFEIN II ini menyelidiki berbagai isu terkait lokalitas sinema Indonesia,
berusaha menjawab pertanyaan besar: “Apakah yang membuat sebuah film menjadi
khas Indonesia dan apa sajakah yang membangun sinema Indonesia?” Eksplorasi
tema ini mengundang topik-topik yang berkaitan dengan ekonomi film, eksplorasi
tradisi, produksi film lokal, pilihan penggunaan bahasa, kajian penonton lokal,
adaptasi karya non-film menjadi film, sejarah dan pengarsipan film, kajian
pelaku, komunitas dan festival film, kajian bentuk film dan genre film, teknik
produksi film yang khas, eksplorasi teknologi baru, diskursus konsep sinema nasional, kajian ekonomi politik serta kebijakan dan infrastruktur film, dan lain-lain, yang berkaitan dengan sinema Indonesia.
Topik yang mungkin termasuk adalah:
• Tradisi lokal dan bahasa lokal dalam film
Indonesia
• Produksi film daerah
• Kajian penonton film
• Film dan adaptasi karya lokal.
• Film Indonesia dalam situasi sejarahnya
yang spesifik
• Pengarsipan film dan tantangannya
• Kajian pembuat film dan kajian bintang film
• Kajian komunitas dan festival film lokal
• Kajian bentuk film dan genre film
Indonesia yang khas
• Teknik dan metode pembuatan film khas Indonesia
• Kajian ekonomi politik, kebijakan, serta
infrastruktur film Indonesia
• Kajian eksplorasi teknologi baru dan
media baru
• Kajian film dan pariwisata
• Diskursus tentang sinema nasional dalam
konteks transnasional dan global
Daftar di atas bukan merupakan batasan, KOFI KAFEIN menyambut presentasi yang terkait
dengan tema sinema Indonesia secara lebih luas.
Kirimkan abstrak 200-an kata, bersama bio penulis 100-150 kata, paling lambat tanggal 28 Juni 2019 ke alamat email kafein.id@gmail.com
Call For Abstract
KOFI KAFEIN 2: Film and "Indonesianness": Redefining Indonesia in Cinema
Indonesian Film International Conference (KOFI) Indonesian Film Scholar Association (KAFEIN) II, August 28-30 2019, Indonesian Art Institute (ISI) Surakarta
Supported by the Indonesian Film Board (BPI)
Local elements increase the significance of film and provide a greater attraction for the local film audience. Political reform in 1998 has reduced governmental control towards political and cultural content. The Indonesian government has been more lenient in accepting different cultural values. Indonesians can carry out film activities more freely, engage in film production and discuss films with representation of local values. The advancement of media technology, more access to filmmaking equipment, various video activism projects, film workshops and media literacy programs, all have been adding the number of film communities throughout the archipelago, giving rise to more films with local content and exploring local ways to do film production and distribution.
One of the most intense discussions during the rebirth of Indonesian cinema after the political reform was about producing films with local characteristics, for its specific conditions, such as cinematography in tropical weather and moist air, or production with minimum film infrastructure. Another intense discussion at the time focused on the fact that there were only limited films that found their inspiration in the local social, political and cultural peculiarities. Such discussions usually concluded that widescreen film production in Indonesia at that time followed a simple market logic. It's the same assumption that big film companies in the world have in pursuing a global audience: that viewers prefer light entertainment and universal values, and therefore they produce more films with universal content and fewer films with local stories. However, a few years later, some of Indonesia's best-selling films have used local issues to attract more viewers. On the other hand, film making and publishing have also found some specific methods that fit with local conditions, adding to the strength of local films. We have also heard success stories from Bollywood, Korea, and China, whose local products beat imported products. This all provides further support the ideas that appropriate local contents and methods can be good for business and the products. However, limited outlets and unfriendly policies might still drive the industry towards universal contents and business methods that are considered safer.
KOFI KAFEIN II Conference investigates various issues related to the locality of Indonesian cinema, trying to answer the big question: "What makes a film unique to Indonesia and what builds Indonesian cinema?" The exploration of this theme invites topics related to film economy, tradition exploration, local film production, choice of language(s), studies of local audiences, adaptation of non-film works to film, history and film archives, star studies, film communities and film festivals, studies of film forms and film genres, exploration of new production techniques and technologies, the concept of national cinema, political economy as well as film policies and infrastructure studies, etc., which are related to Indonesian cinema.
Topics that might be included are:
• Local traditions, local languages in Indonesian films
• Regional film production
• Audience studies
• Films and adaptations of local works
• Indonesian films in their specific historical situation
• Film archiving and its challenges
• Filmmaker and star studies
• Film community and film festivals
• Local film forms and film genres
• Local film techniques and methods
• Indonesian political economy, policies, and film infrastructure
• Exploration of new technologies and new media
• Film and tourism studies
• Discourse on national cinema in a transnational and global context
KOFI CAFEIN welcome presentations related to the conference theme or to Indonesian cinemas more broadly.
Send an abstract (200 words), with the author's bio (100-150 words), no later than June 28, 2019 to kafein.id@gmail.com
ayo menangkan uang setiap harinya di agen365*com
ReplyDeleteWA : +85587781483
Kandungan
ReplyDeletekafein pada kopi juga bermanfaat pada wajah dan dibuat sebagai masker