Abstracts and Bios

PANEL 1

Technology and History
Chair:

Presenters: Agustinus Dwi Nugroho (Institut Seni Indonesia Yogyakarta); Shadia Pradsmadji (Universitas Indonesia); Luqman Abdul Hakim, Universitas Negeri Jakarta
______________________________________________________________________________________________________________

Agustinus Dwi Nugroho (Institut Seni Indonesia Yogyakarta)
Teknologi Special Effect di Sejarah Awal Film Indonesia
Email: dwinugr@yahoo.com

Abstract: Teknologi efek khusus (special effect) telah ada sejak era sebelum kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada masa Hindia Belanda tahun 1935, di film Tie Pat Kai Kawin. Film Tie Pat Kai Kawin ini adalah koleksi arsip film tertua di Indonesia yang dimiliki oleh Sinematek Indonesia. Salah satu film yang juga menggunakan efek khusus untuk memvisualisasikan beberapa adegan dalam filmnya adalah film Tengkorak Hidoep (1941). Keduanya adalah film klasik Indonesia yang masih menggunakan warna hitam putih. Kedua film tersebut disutradarai oleh The Teng Chun (Tie Pat Kai Kawin) dan Tan Tjoei Hock (Tengkorak Hidoep). Pada masa itu para sineasnya memang banyak mengadaptasi cerita-cerita seperti adaptasi siluman, seperti pada film Tie Pat Kai Kawin. Hal inilah yang menjadi motivasi visualisasi dengan efek khusus ini. Di film Tengkorak Hidoep sendiri digunakan untuk visualisasi teknik horornya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengamatan pada efek khusus yang ditampilkan dalam adegan di kedua film tersebut. Pengamatan akan lebih fokus pada adegan-adegan yang menggunakan teknik-teknik manual untuk menghasilkan efek khusus seperti goresan pada seluloid, stop motion, transisi editing, dan properti asli sebagai salah satu variasi teknik. Efek khusus yang dikembangkan masa itu, adalah bentuk eksplorasi sinematik untuk menghadirkan bentuk visual yang unik dan baru pada konteks zamannya. Penelitian ini ingin mengungkapkan bahwa teknologi film pada masa itu, mampu memvisualisasikan eksplorasi sinematik dalam mengemas cerita di masa sejarah awal film Indonesia.
Kata Kunci: Efek Khusus, Teknik Sinematik, Teknologi Film.

Agustinus Dwi Nugroho lahir di Temanggung pada 27 Agustus 1990. Ia menempuh pendidikan Program Studi Film sejak tahun 2008 di sebuah Akademi Komunikasi di Yogyakarta. Di sini ia mulai mengenal lebih dalam soal film, baik dari sisi kajian maupun produksi. Semasa kuliah aktif dalam produksi film pendek baik dokumenter maupun fiksi. Ia mulai masuk Komunitas Film Montase Yogyakarta pada tahun 2008, yang kala itu masih fokus pada bidang apresiasi film melalui Buletin Montase, yang saat ini telah berganti menjadi website montasefilm.com. Sejak saat itu, ia mulai aktif menulis ulasan dan artikel film hingga kini. Setelah lulus, ia melanjutkan program sarjana di Jurusan Ilmu Komunikasi di salah satu perguruan tinggi swasta di Jogja. Penelitian tugas akhirnya mengambil tema tentang sinema Neorealisme, membandingkan film produksi lokal yang bertema sejenis. Tahun 2017, Ia menyelesaikan studi magisternya di Program Pascasarjana Jurusan Pengkajian Seni di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dengan minat utama film. Penelitian tesisnya terkait dengan kajian narasi dan plot sebuah film. Saat ini ia berprofesi sebagai dosen di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, mengampu mata kuliah terkait film. Ia juga aktif memberikan pelatihan, kuliah umum, seminar di beberapa kampus, serta menjadi pemakalah dalam konferensi Internasional.


Shadia Pradsmadji (Universitas Indonesia)
Video-on-Demand (VOD) Sebagai Depot Film-Film Indonesia
Email: shadia.1993@live.com

Abstract: Perkembangan teknologi saat ini memungkinkan adanya konvergensi media yang membuat orang-orang dapat menonton film tanpa perlu terbatas dengan satu alat saja dan tanpa perlu terbatas dengan ruang dan waktu. Video-on-demand (VOD) merupakan salah satu medium yang dapat mengakomodasi film agar tidak harus mutlak ditonton melalui satu medium saja. Keunggulan ini juga memungkinkan video-on-demand menjadi wadah bagi film-film khususnya yang sudah lama turun dari bioskop untuk memperoleh sirkulasi kembali. Penelitian ini akan mencoba melihat bagaimana video-on-demand dapat menjadi depot bagi film-film tersebut untuk meraup pasar niche dan kembali menemukan penontonnya, baik penonton baru maupun penonton lama.

Shadia Pradsmadji sedang menempuh S2 Ilmu Komunikasi di Universitas Indonesia, Jakarta. Alumnus jurusan film Universitas Bina Nusantara ini pernah bekerja sebagai Program Scheduler untuk saluran televisi FLIK yang khusus menayangkan film-film Indonesia dalam format HD. Saat ini dia juga aktif di Cinema Poetica, situs kajian dan kritik film, sebagai administrator media sosial.

Luqman Abdul Hakim, Universitas Negeri Jakarta
Merawat Ingatan Melalui Film: Tren Produksi Film Sejarah di Tahun 2000-an
Email: lqmnhkim@gmail.com

Abstract: Film sejarah sebagai salah satu medium yang dianggap penting untuk mempromosikan ingatan kolektif mengenai suatu tokoh maupun peristiwa di masa lalu sudah menjadi ciri khas tersendiri di Indonesia. Di masa-masa sebelumnya, film sejarah merupakan bagian dari politik kebudayaan untuk mempromosikan masa lalu yang melegitimasi kekuasaan. Di periode awal Republik Indonesia film sejarah mengangkat tema perang kemerdekaan yang menunjukkan berbagai heroisme terhadap perjuangan melawan penjajah. Di masa Orde Baru, film sejarah mempromosikan militerisme dan alat propaganda untuk melegitimasi kekuasaan. Hampir seluruh film sejarah di masa-masa sebelumnya mengangkat tema tentang “perang” atau fokus pada peristiwa serta tokoh yang berjasa dalam suatu perang di masa lalu. Di periode tahun 2000-an, film sejarah mulai terbuka untuk mengambil tema berbeda dan tidak melulu mengambil sosok pahlawan nasional atau peristiwa perang. Kajian ini memiliki fokus pada produksi film sejarah Indonesia di tahun 2000-an. Tren produksi film sejarah sebagai rujukan masyarakat tentang kehidupan seorang tokoh dan peristiwa masa lalu di era 2000-an menunjukkan adanya perluasan tema, tokoh, maupun peristiwa masa lalu sebagai latar maupun plot utama dari film sejarah. Penelitian ini menggunakan metode kajian pustaka dan dokumen, serta wawancara. Kajian pustaka mengenai landasan konsep serta teori tentang film sejarah berguna sebagai landasan analisis terhadap film sejarah. Dokumen-dokumen terkait ihwal produksi hingga distribusi film sejarah juga mendukung pendalaman kajian diluar teks film. Terakhir wawancara dilakukan pada para subjek yang terlibat dalam produksi film sejarah serta beberapa sejarawan yang memiliki perhatian khusus pada film sejarah. Kajian tentang film sejarah dapat membantu menambah pengetahuan dan pemahaman bagi para pembuat film, sejarawan, dan masyarakat terkait film yang mengambil tema/setting/narasi/plot sejarah. Kajian ini juga bermanfaat sebagai suatu upaya klasifikasi genre film agar dalam tahap distribusi film dapat menarik target penonton dengan film berlatar sejarah.
Kata Kunci: Film Sejarah, Genre Film, Tren

Luqman Abdul Hakim. Alumni Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Jakarta yang kini berprofesi sebagai tenaga pendidik di SMA Fons Vitae 1 Jakarta. Sejak 2017 aktif mengikuti konferensi ilmiah dengan mengambil tema kajian film sejarah. Pernah terlibat dalam pilot project “Nusantara” tentang Kopi Gayo di Aceh bersama Rumah Produksi Visinema sebagai tim riset. Kegemaran menulis sudah ditekuni sejak mahasiswa dan diunggah melalui blog komunitas gerakanaksara.blogspot.com. Artikel ilmiahnya tentang film sejarah yang sudah dipublikasikan  dengan judul, “Menerawang Masa Lalu di Era Digital: Film Sejarah vs Historiografi”, Sasdaya, Gadjah Mada Journal of Humanities, Vol. 3 No. 1, Feb 2019, https://doi.org/10.22146/sasdayajournal.43885 dan laman web remotivi.or.id.
(http://www.remotivi.or.id/amatan/446/Menyoal-Sejarah-dalam-Film-Sejarah)


KEYNOTE SPEAKER
Dag Yngvesson, University of Nottingham
Transnationalism and the Myth of Penjiplakan in Indonesian Cinema: A Media Archaeological Perspective
Email: Dag.Yngvesson@nottingham.edu.my

Dag Yngvesson is a filmmaker and Assistant Professor of cinema and cultural studies at the University of Nottingham, Malaysia Campus. Using extensive archival and ethnographic research on globalization and political mass media in Indonesia, his forthcoming book challenges basic scholarly assumptions about the role of Hollywood and US imperialism in the development of non-Western cinemas. He is currently also finishing post-production on the experimental narrative feature Banyak Ayam, Banyak Rejeki (Many Chickens, Lots of Luck), co-directed and produced with Indonesian filmmaker Koes Yuliadi. Dag has published scholarly articles in Jumpcut, Indonesia and the Malay World, International Journal of Indonesian Studies, Plaridel, and others.



PANEL 2

Practice
Chair:

Presenters: Novasari Widyaningsih and Citra Dewi Utami (Institut Seni Indonesia Surakarta); Ekky Imanjaya, (Universitas Bina Nusantara); Tri Widyastuti Setyaningsih (Institut Kesenian Jakarta); Budi Dwi Arifianto (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta) and Citra Dewi Utami (Institut Seni Indonesia Surakarta).


Novasari Widyaningsih and Citra Dewi Utami (Institut Seni Indonesia Surakarta)
Strategi Distribusi Film Di Rumah Dokumenter
Email: novasariwidyaningsih@gmail.com; citra_de@isi_ska.ac.id

Abstract: Seiring dengan perkembangan film di Indonesia, produksi film dokumenter berkembang dengan baik. Namun pada kondisi tersebut terdapat perbedaan dari sambutan penonton, yaitu masih khususnya para penonton film dokumenter dibandingkan dengan film fiksi. Layar bioskop masih sangat jarang yang memutar film dokumenter pada penayangan regulernya. Hal tersebut memberikan tantangan bagi sineas film dokumenter untuk berstrategi dalam pendistribusian karyanya. Ruang putar selain bioskop menjadi alternatif yang terbuka luas bagi pertemuan isu-isu sosial yang dikemas melalui sebuah perspektif tertentu dengan penontonnya. Rumah Dokumenter adalah sebuah organisasi yang bergerak dalam produksi, jejaring, dan pendidikan khusus film dokumenter. Paper ini membahas tentang strategi distribusi yang diterapkan di Rumah Dokumenter dalam kurun waktu 2013-2018. Jangkauan distribusi baik skala lokal, nasional dan internasional melalui beragam jalur. Terdapat 46 film yang telah diproduksi dan  kesemuanya telah terdistribusikan dengan baik. Jalur distribusi utama dari mayoritas film yang dihasilkan adalah roadshow film dan bioskop untuk skala lokal, roadshow film, festival, DVD film dan televisi untuk skala nasional, sedangkan untuk skala internasional adalah melalui jalur distribusi festival film, televisi dan distribusi online. Strategi yang diterapkan dalam pendistribusian film tersebut adalah bekerja sama dengan kolektif film, komunitas masyarakat dan penggiat film dokumenter untuk skala lokal, untuk skala nasional bekerja sama dengan mitra pemutar film, festival film, dan stasiun televisi. Sedangkan untuk skala internasional bekerja sama dengan festival film, stasiun televisi dan distributor film online.
Kata Kunci:  Film Dokumenter, Distribusi, Rumah Dokumenter

Novasari Widyaningsih is …..
Citra Dewi Utami Dilahirkan dan mengabiskan masa ke kecilnya di Solo, Jawa Tengah. Ia meraih dua gelar kesarjanaanya, yakni S1 di Film dan Televisi (ISI Yogyakarta) dan S2 di Kajian Budaya Media (UGM). Di masa mudanya terlibat aktif dalam komunitas pembuat film di Yogyakarta. Pengalaman bekerja secara profesional dalam bidang menejemen produksi film.  Sejak 2006 mendedikasikan ilmu dan pengalamannya sebagai dosen dan peneliti di ISI Surakarta. Kajian yang telah dijalankan diantaranya terkait produksi, distribusi, dan konsumsi film di Indonesia. Saat ini sedang menjalankan penelitian tentang pekerja film yang merupakan kerja sama dengan BPI.


Ekky Imanjaya, (Universitas Bina Nusantara)
Serupa tapi Tak Sama: Layar Tancap dan Tradisi Sinema Global
Email: eimanjaya@binus.edu

Abstract: Dalam berbagai bacaan, disebutkan bahwa saat “bioskop pertama” digelar di Kebondjae oleh Schwar, pada  5  Desember 1800, banyak orang membandingkannya dengan Layar Tancap milik “orang Belanda” bernama Talbot yang sudah beroperasi jauh lebih lama.  Bedanya, bioskop yang kelak bernama The Rojal Bioscope itu ada di gedung permanen, sedangkan pertunjukan Talbot di lapangan terbuka, tepatnya di lapangan Pasar Gambir antara Stasiun Kota dan Lokasari (Manggabesar) (Jauhari: 1992, 8).   Namun, nyaris tidak ada pembicaraan lanjut soal “Layar Tancap” milik Talbot ini, bahkan nama depannya pun jarang yang mencantumkan. Sementara itu, Layar Tancap acap dianggap sebagai bagian dari tradisi khas film nusantara. Pernyataan ini tidak sepenuhnya benar dan tidak sepenuhnya salah.  Layar Tancap, dalam konteks historis dan dan karakter budaya eksibisi film global, selalu terkait langsung dengan sejarah sinema dunia sejak awal. Nadi Tofighian dan Dafna Ruppin, misalnya, menyimpulkan bahwa  tanggal tertua ditemukannya fenomena film keliling (touring cinema) di Batavia adalah  11 October 1896—empat tahun lebih awal dari “bioskop pertama” di Jawa--yang digelar seorang warga Perancis,  Lois Talbot ,  dan perusahaannya,   Scenimatograph, yang berkeliling Asia (Ruppin 2015, 2, 32).      Lebih jauh lagi, di saat yang berbarengan, di permulaan sejarah eksibisi, terjadi fenomena “layar tancap” di berbagai belahan bumi, termasuk di Eropa dan Australia.  Makalah ini ingin menunjukkan bahwa, sejak awal lahirnya sinema di dunia, layar tancap menjadi bagian integral dari tradisi sinema global itu.  Dalam hal ini, tulisan berfokus pada kajian sejarah tradisi non-theatrical cinema, rural cinema, dan traveling cinema dan bagaimana layar tancap berbeda dengan mereka. Makalah ini juga akan membandingkan antara tradisi layar tancap Indonesia dengan budaya midnight movies, perayaan semalam suntuk dari penggemar yang menonton film-film tertentu dengan penuh gairah dan dedikasi, yang bermula di akhir 1960an di kota New York (Mathijs and Sexton 2011, 13).

Ekky Imanjaya adalah dosen tetap Program Studi Film, Sekolah Desain, Universitas Bina Nusantara. Ekky baru saja menyelesaikan studi doktoralnya di bidang Kajian Film, di University of East Anglia, Inggris. Tesisnya berfokus pada politik selera, global flow, dan film eksploitasi transnasional Indonesia era Orba. Karya-karyanya, ilmiah dan popular, tersebar di berbagai jurnal dan media. Di antaranya di Jump Cut, Plaridel, Asian Cinema, dan katalog Taipei International Film Festival.

Tri Widyastuti Setyaningsih (Institut Kesenian Jakarta)
Produser Konseptual atau Produser Eksekutor? Menentukan Prioritas dalam Kurikulum Produksi Film di Indonesia
Email: wwd_setya@yahoo.com
Abstract: Film adalah kerja kreatif yang bersifat kolektif dan kolaboratif, namun produser merupakan inisiator pertama dan utama dalam menentukan arah film yang akan diproduksi. Bagaimana pun, hingga hari ini, masih banyak kebingungan mengenai definisi profesi, ruang lingkup pekerjaan dan tanggung jawab produser dan tim yang tergabung dalam departemen produksi: Executive Producer; Producer; Associate Producer; Line Producer;  Unit Production Manager /UPM; Manager Produksi ; Unit Produksi; Koordinator Produksi; Assisten Produksi; Production Runner; yang masing-masingnya memiliki deskripsi tugas yang sangat berbeda. Pengertian dan pemahaman yang beraneka ragam atas definisi profesi, tugas dan tanggung jawab. serta ruang lingkup pekerjaan produser selalu ditemukan dalam konteks pembelajaran maupun pada praktik, dan ini semua berakibat pada tumpang tindihnya pekerjaan atau sebaliknya, saling lempar tanggung jawab yang berujung pada kualitas kerja yang tidak maksimal.
Makalah ini fokus pada masalah-masalah dalam konteks pembelajaran, dengan pemikiran bahwa kebingungan teoritis menjadi penyebab signifikan dari kebingungan praktis di lapangan. Salah satu masalah paling mendasar dalam mengembangkan kurikulum produksi dalam sekolah-sekolah film adalah menentukan prioritas fungsi keproduseran yang paling penting untuk ditekankan dan diajarkan lebih awal: apakah pekerjaan produser lebih konseptual atau lebih praktikal? Selain itu, ada masalah besar dalam definisi pekerjaan karena buruknya penerjemahan nama-nama jabatan dalam produksi, atau karena perbedaan sistem kerja dari industri film dan televisi, ataupun karena cara perbedaan produksi di negara-negara yang telah lebih dulu mengembangkan ilmu film. Pada akhirnya, makalah ini berharap bisa memberikan tawaran mengenai format dasar pendidikan keproduseran yang bisa didiskusikan di antara lembaga-lembaga pendidikan film di Indonesia.

Tri Widyastuti Setyaningsih atau lebih dikenal dengan nama Wiwid Setya berpengalaman 19 tahun dalam mengelola pembuatan film baik dalam bentuk film layar lebar, doku drama, film pendek, PSA, Iklan , TV series dan lainnya. Film yang sudah ia kelola antara lain : Critical Eleven (2017) ; Kartini (2017); Aach Aku Jatuh Cinta (2016); Kapan Kawin? (2014); Habibie & Ainun (2012); The Mirror Never Lies (2011); Denias, Senandung di Atas Awan (2006); Opera Jawa / Requiem From Java (2005); Aku Ingin Menciummu Sekali Saja / Birdman Tale (2002). Wiwid lulus pada program kekhususan Management Film dan TV di Fakultas Film dan Televisi (FFTV) Institut Kesenian Jakarta (IKJ).  Pada tahun 2008, ia terpilih dalam program magang internasional yang diadakan oleh Asia Link dan Yayasan Kelola,  untuk belajar di Australia Film Radio and Televisi (AFTRS), Sydney, Australia.  Tahun 2018, Wiwid menyelesaikan gelar Magister Seni dalam program Seni Urban dan Industri Kreatif di Sekolah Pascasarjana IKJ. Mulai 2015 hingga saat ini, Wiwid masih mengajar di IKJ di bidang Produksi Film.

Budi Dwi Arifianto (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta) and Citra Dewi Utami (Institut Seni Indonesia Surakarta)
Strategi Pengorganisasian Kerja Produksi Film Pada Divisi Kamera
Email: buditobon@gmail.com; citra_de@isi_ska.ac.id

Abstract: Perkembangan perfilman di Indonesia diiringi dengan pembenahan infrastruktur dan regulasi demikian pula dengan peningkatan kemampuan para pekerjanya. Kekuatan bahasa visual dalam sebuah film, tidak dapat dipungkiri memiliki peran penting dalam menyampaikan pesan kepada penontonnya. Proses komunikasi yang dijalankan mencakup penataan komposisi yang terkait dengan peletakan level kamera, pembingkaian ukuran gambar dan pergerakannya. Divisi kamera adalah kumpulan kru produksi film yang bertanggung jawab atas proses kreatif tersebut. Keterlibatan masing-masing personil pada divisi kamera dalam sebuah produksi film membutuhkan pengorganisasian kerja yang baik untuk mencapai hasil yang efektif dan efesien. Director of Photography (DoP) adalah pemimpin pada divisi ini yang berhubungan langsung dengan Gaffer dan Key Grip. Berikutnya adalah personil-personil yang membantu diantaranya: Camera Operator, 1st AC, 2nd AC, DIT, BB Lighting, BB Grip. Tugas dan tanggung jawab masing-masing kru serta interaksi antar kru dijabarkan dalam pengorganisasian kerjanya. Pada paper ini akan deskripsikan ragam strategi yang telah diterapkan pada produksi-produksi film dalam meraih hasil yang diinginkan serta solusi yang dipilih dalam menghadapi permasalahan-permasalahan yang muncul. Indonesia memiliki keunikan dalam budaya yang secara langsung maupun tidak telah memberikan pengaruh terhadap bidang produksi film. Pada beragam kondisi produksi film yang butuh banyak penyesuaian tersebut membutuhkan strategi yang berbeda pula. Wawancara dan observasi dilakukan terhadap kru divisi kamera di Yogyakarta dan Bali untuk mendapatkan data. Selanjutnya dianalisis untuk mendapatkan kesimpulan dari strategi yang diterapkan dan dilihat keberhasilannya melalui indikator hasil yang dicapai.

Budi Dwi Arifianto Dilahirkan dan menghabiskan masa kecilnya di Yogyakarta. Meraih gelar sarjana dan masternya di ISI Yogyakarta bidang penciptaan Videografi. Budi menghabiskan masa muda menjadi penggiat komunitas produksi film. Turut serta membesarkan Four Colour film di awal karir sebagai komunitas produksi film independen. Terlibat dalam produksi pendek Happy Family (2016) mengantarkan dia sebagai nominasi best of cinematography di Festival Grand Off Internasional Polandia. Selain itu juga aktif di kepengurusan Paguyuban Filmmaker Yogyakarta dan menjadi programmer Mobil Bioskop Keliling Pusbang Film di UMY. Saat ini mendedikasikan waktunya sebagai dosen di Ilmu Komunikasi UMY. Mata kuliah yang diampu Sinematografi, Fotografi dan Film Dokumenter. Tuntutan akan keprofesionalan karirnya sebagai dosen lewat penelitian penelitian yang dilakukan, dia berupaya mengekplorasi topik topik yang berkaitan dengan teknik produksi, eksplorasi teknologi baru dan kajian pelaku.

Citra Dewi Utami Dilahirkan dan mengabiskan masa ke kecilnya di Solo, Jawa Tengah. Ia meraih dua gelar kesarjanaanya, yakni S1 di Film dan Televisi (ISI Yogyakarta) dan S2 di Kajian Budaya Media (UGM). Di masa mudanya terlibat aktif dalam komunitas pembuat film di Yogyakarta. Pengalaman bekerja secara profesional dalam bidang menejemen produksi film.  Sejak 2006 mendedikasikan ilmu dan pengalamannya sebagai dosen dan peneliti di ISI Surakarta. Kajian yang telah dijalankan diantaranya terkait produksi, distribusi, dan konsumsi film di Indonesia. Saat ini sedang menjalankan penelitian tentang pekerja film yang merupakan kerja sama dengan BPI.
___________________________________________________________________________


PANEL 3

Film and Resistance
Chair:

Presenters: Novi Kurnia (Universitas Gadjah Mada); Tri Adi Sumbogo (Universitas Bina Nusantara); Amin Shabana (Universitas Muhammadiyah Jakarta); Sidi Saleh (PPM School of Bussines Management)


Novi Kurnia (Universitas Gadjah Mada)
“Voices from the Margin”: Women Directors and Gender Politics In the New ‘Ordered’ Indonesian Cinema (1965-1998)
Email: novikurnia@ugm.ac.id

Abstract: In keeping with the authoritarian system under the New Order Indonesia, the development of the Indonesian film industry - including all policy that affected it - was under the control of the state and its governmental institutions. Such tight control made the New Order Indonesian cinema as the New “ordered’ cinema since the state played role not only as a regulator but also players in the industry. It was a relatively small industry, a very tight production system, a male-dominated work force, a bound by powerful censorship, a rigid monopoly on film distribution, and a historical definition of Indonesian films as a medium to entertain the poor and the uneducated. In such repressive circumstances, New Order Indonesian cinema only allowed limited space for experimentation in the industry that lead limited space for women film directors. This chapter argues that the politics of the New Order period did marginalised women both in in terms of them being film directors as well as in the film text. To support this argument, several issues related to the features of New Order Indonesian cinema will be explained. They include: state control over the film industry, the film industry market (production, distribution, exhibition, human resources, and technology), and films as cultural products. As film directors, limited women who worked during the New Order had two things in common. Firstly, they had previous experience working in the film industry either as film stars or as assistant directors. Secondly, they had relationships with husbands or brothers who also worked in the film industry either as film stars or directors. Thus, it would seem that the only way for women to be film directors during the New Order was for them to have already worked in the film industry and to have a very close connection with a male worker in the industry. This shows that the space for women to be film directors was very limited during the New Order. Based on this, a question arises: If the presence of women as film directors was limited in male-dominated New Order filmmaking, how were women represented in New Order films especially those directed by women? It seems that the representation of women in films directed by women is not particularly different from those directed by men is because women directors during the New Order were marginalised institutionally. Male directors with a male film aesthetic dominated the film industry so that the only way for women to survive was to adopt this male perspective in their films. The consequence of such masculinisation was that the voices of the minority of women became lost in the domination of male voices in the New Order film culture.
Keywords: authoritarian, New Order, Indonesian cinema, film industry, state, control, gender politics, women directors, male, masculinisation, film culture

Novi Kurnia is a lecturer and researcher at the Department of Communication Science at Universitas Gadjah Mada, Indonesia. Kurnia finished her PhD study at Flinders University, South Australia, in 2014. Her thesis is about women film directors and their films in post-New Order Indonesia. Kurnia is also the founder and the chair-person of IF!fest (Indonesian Film Festival) held in Adelaide in 2006, 2008 & 2009. She is also organizer as well as jury for several film festivals. Her main interest is on studies about film, media, gender, cultural studies and digital literacy. Her works published in national and international books and journals. She can be contacted by her email address: novikurnia@ugm.ac.id or noniknovi@yahoo.com

Tri Adi Sumbogo (Universitas Bina Nusantara)
Protes Terhadap Militerisme Dalam Produksi Film Independen
Email: triadisumbogo17@gmail.com

Abstract: Faye Ginsburg (2008) mendefinisikan aktivisme kebudayaan sebagai suatu konsep di mana materi-materi kebudayaan digunakan dan ditempatkan secara strategis sebagai bagian dari proyek pemberdayaan politik yang lebih luas. Sebagai seperangkat praktik dan kegiatan kreatif yang melawan interpretasi dominan, aktivis kebudayaan mengkonstruksi dunia sembari menghadirkan alternatif sosio-politik dan ruang spasial bagi khalayak. Aktivis kebudayaan mengembangkan relasi antara seni, politik, dan partisipasi khalayak. Buser (2013) menunjukkan arti penting aktivisme kebudayaan yang menjalankan fungsi sebagai sarana untuk membangun identitas berbasis wilayah geografis melalui artikulasi visi bersama tentang perubahan sosial. Proyek-proyek pemberdayaan politik lokal seperti yang dinyatakan oleh Ginsburg dilakukan oleh aktivis perfilman independen di wilayah Banyumas Raya. Tiga ruang spasial yang menunjukkan bagaimana aktivis perfilman independen Banyumas bekerja untuk pemberdayaan politik warga adalah komunitas film di Purbalingga, Cilacap dan Kebumen. Makalah ini bertujuan untuk mendeskripsikan aktivisme kebudayaan berbasis perfilman melalui studi kasus produksi film independen. Kasus yang dipilih adalah pengalaman empiris ketiga komunitas film independen tersebut dalam menjalankan kolaborasi produksi film independen dengan topik relasi kuasa antara militer dan masyarakat sipil atas hak atas tanah bagi warga. Ada dua proses produksi film independen yang dipilih dan memiliki relasi dalam narasinya yaitu film dokumenter “Urut Sewu Bercerita” (2016) dan film fiksi “Melawan Arus” (2017). Film “Melawan Arus” mengambil posisi sebagai kelanjutan narasi dari perlawanan warga sipil terhadap militerisme dalam Film “Urut Sewu Bercerita”. Makalah ini akan mendeskripsikan pula bagaimana interaksi dan dialog terjadi diantara aktivis film sebagai basis protes mereka terhadap dominasi militerisme.
Kata Kunci : Protes militerisme, Aktivisme kebudayaan, Komunitas Film, Film Independen Banyumas

Tri Adi Sumbogo adalah dosen Ilmu Komunikasi di Bina Nusantara University. Sejak tahun 2017 menempuh studi Doktoral Ilmu Komunikasi di Universitas Indonesia. Dia mengambil topik penelitian tentang jejaring aktivisme kebudayaan berbasis perfilman di Banyumas Raya dalam konteks desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia. Dia dapat dihubungi di triadisumbogo17@gmail.com atau 081227603872.


Amin Shabana (Universitas Muhammadiyah Jakarta)
Melawan Budaya Ketertutupan Melalui Festival Film
Email: aminshabana78@gmail.com

Abstract: Mendorong public yang terbuka dan kritis menjadi ciri banyak negara dalam mempersiapkan diri dari penetrasi tsunami informasi dari globalisasi dunia saat ini. Indonesia merupakan negara yang masuk dalam arus perubahan dunia yang sedang berlangsung. Sayangnya, budaya ketertutupan yang masih kuat di berbagai tempat menjadi tantangan yang masih dihadapi. Literasi media menjadi hal penting yang perlu dikembangkan untuk membangun ruang dialog untuk melawan tembok nilai tradisi dan spiritualitas yang masih berdiri kokoh. Bentuk literasi media yang dikembangkan banyak bangsa dalam mensosialisasikan setiap gagasan baru, di dalam dan luar pendidikan formal, yaitu media film. Penyelenggaraan festival film merupakan bentuk literasi media alternative menggunakan film yang dikelola banyak negara dengan serius dan terbukti berdampak besar. Melalui program antara lain pemutaran film, diskusi dan workshop, kegiatan eksibisi dan apresiasi ini terbukti berkontribusi pada identitas sosial budaya bagi kota dan masyarakatnya. Salah satu budaya yang menonjol yaitu budaya keterbukaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana materi dalam program festival film dapat melawan budaya ketertutupan dan membuka cara pandang yang lebih terbuka dan kritis atas banyak isu. Teori utama yang digunakan penelitian ini yaitu literasi media dan audience exposure.  Metode penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif kualititatif. Sementara pengumpulan data melalui wawancara, observasi dan studi pustaka.

Amin Shabana was Born in Jakarta 1978. Graduated from Master degree in Communication Management of University Indonesia.

His first time-involvement in audio visual work started when working for Jakarta International Film Festival 2000 and 2001, afterward he joined Konfiden Foundation to organize Indonesian Independent Film-Video Festival 2001 and 2002. He was also responsible in organizing other events such as Film Festival For Peace 2003 in Jakarta & Surabaya initiated by Common Ground where he worked as Film Festival Consultant in the early 2004.

In addition to audio visual field, he worked as Marketing Manager for a multimedia company, PT. Jaring Data Interactive. He then joined Visi Anak Bangsa Foundation with last position as Program Director. He is currently running Ladang Media Foundation as Director. It’s a non-governmental organization focusing on civic education issues since 2010 with one of program outcomes are advocacy-documentary films such as Jakarta Ketuk Pintu (Knock-Knock Jakarta), Ciujung Simpang Lima and Menyibak Kabut (Clearing the Drizzle). He was also a freelance media consultant for other parties such as Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, MSI SIAP I (USAID), Transparency InternationaI Indonesia (TII) and KPK. Co-founded Boemboe organization in 2003 and has been working there as a Program Manager ever since.

Sidi Saleh (PPM School of Bussines Management)
Dampak Dominasi Jaringan Bioskop Terhadap Kinerja Ekonomi Film Nasional
Email: roland.tolentino@gmail.com

Abstract: Adanya beberapa kendala dalam ekosistem industri film nasional, memiliki dampak terhadap akselerasi perkembangannya. Film sebagai komoditas Industri kreatif bagi pemerintah dinilai memiliki potensi bagi perekenomian Indonesia di masa datang. Tetapi film sebagai tontonan hiburan di Indonesia memiliki dinamika tersendiri. Industri film nasional, masih jauh dari mapan, kualitas sumber daya manusia, teknologi, masih dianggap tidak memadai, selain itu regulasi dalam kegiatan industri film, belum memiliki petunjuk teknis pelaksanaanya. Hadirnya sinepleks atau multipleks yang dikembangkan oleh jaringan studio 21 pada penghujung tahun 80-an, baik disadari atau tidak, telah menciptakan tren pasar atau menjadi tolak ukur bagi para pembuat film, untuk beradaptasi dengan pasar bioskop yang ada, karena jalur eksibisi yang tersedia sekarang didominasi oleh studio XXI. Adanya dominasi kapital dalam industri film mampu mengontrol trend pada pasar menjadi sebuah ancaman dalam dinamika globalisasi, khususnya bagi perekonomian Indonesia baik makro maupun mikro. Melalui publikasi data-data perolehan penonton, penelitian ini akan mencoba mengklasifikasi dan menginterpretasi data-data tersebut, untuk menemukan dan menguji adanya dampak dominasi jaringan bioskop terhadap kinerja ekonimi film nasional. Bioskop menjadi wilayah yang sangat menarik untuk dikaji lebih dalam, karena bioskop adalah sumber arus pemasukan utama bagi pembuat karya film. Asumsi yang mendasari penelitian ini terletak pada persoalan traditional profit streams dari kegiatan penjualan tiket film nasional di bioskop. Persoalan perkembangan industri film nasional juga berhubungan dengan triple bottom line. Frase yang pertama kali diperkenalkan oleh John Elkington pada tahun 1994. Salah satunya adalah persoalan traditional profit loss (Wheeln, 2018). Kebutuhan akan adanya tata kelola pada industri film, akan melahirkan ekosistem perfilman yang kompetitif , efektif serta efisien bagi semua pelaku industri perfilman nasional saat ini dan di masa mendatang. Hasil yang ditemukan dari penelitian ini ini diharapkan dapat memberikan paparan situasi bagi para pemangku kepentingan film nasional dan pemerintah, mengenai adanya potensi kartel yang lahir dari dominasi jaringan, dan memiliki dampak terhadap kinerja ekonomi film nasional. Selain itu penelitian ini akan menjadi tambahan pengetahuan, yang akan melengkapi penelitian-penelitian film nasional yang ada saat ini.
Kata Kunci : Industri Film, Perfilman Nasional, Dominasi Pasar, Afiliasi, Bioskop, Tata Edar.


Sidi Saleh lahir di Jakarta pada 5 April 1979. Ia memperoleh gelar sarjana sinematografi dari Institut Kesenian Jakarta. Setelah lulus, ia terjun ke dalam industri film pada awal tahun 2000-an dan terus aktif dalam departemen sinematografi. Ia merasa hidupnya berkembang "mengikuti" kamera karena ayahnya dulu bekerja di bidang dokumentasi video pernikahan. Sebagai sinematografer, ia terlibat dalam beberapa film karya Edwin, yaitu Kara, Anak Sebatang Pohon, Babi Buta yang Ingin Terbang (juga sebagai produser, dan Kebun Binatang (judul dalam versi internasional Postcards from the Zoo). Kara, Anak Sebatang Pohon memperoleh penghargaan Film Pendek Terbaik dalam Festival Film Indonesia tahun 2005 dan menjadi film Indonesia pertama yang lolos seleksi Director’s Fortnight (bahasa Prancis: Quinzaine des Réalisateurs) Festival Film Cannespada tahun 2005. Babi Buta yang Ingin Terbang memperoleh Penghargaan FIPRESCI pada Festival Film Internasional Rotterdam tahun 2009 dan Kebun Binatang atau Postcard From The Zoo masuk dalam kompetisi utama Festival Film Berlinale tahun 2012



PANEL 4

Gender and Cinema
Chair:

Presenters: Roma Kyo Kae Saniro (Universitas Indonesia); Irish Hening (Universitas Indonesia); Ulmi Marsya (Universitas Muhammadiyah Riau); Debby Dwi Elsha (Universitas Teknologi Yogyakarta)

Roma Kyo Kae Saniro (Universitas Indonesia)
Transformasi Representasi Tokoh Srintil dan Rasus: Sebuah Kajian Ekranisasi.
Email: roma.kyo@ui.ac.id, romakyok@gmail.com

Abstract: Penelitian ini membahas mengenai transformasi representasi tokoh Srintil dan Rasus dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk cetakan keempat (1992) dan film Sang Penari (2011). Pengumpulan data dilakukan secara tekstual dengan metode penelitian deksriptif komperatif untuk membandingkan transformasi yang terjadi di antara kedua karya. Teknik analisis data penelitian menggunakan teknik intertektual yang berusaha menemukan aspek-aspek tertentu yang ada pada karya sebelumnya dan pada karya yang muncul kemudian. Tujuan kajian interteks ini adalah untuk memberkan makna secara lebih penuh terhadap karya. Langkah-langkah penelitian yang dilakukan adalah 1) menganalisis representasi tokoh Srintil dan Rasus dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk dan novel Sang Penari dan 2) menganalisis transformasi representasi tokoh Srintil dan Rasus dalam novel dan film untuk membongkar ideologi teks. Hasil penemuan adalah adanya perubahan ideologi akibat transformasi representasi tokoh Rasus dan Srintil. Melalui kekalahan Srintil dan dominasi maskulin Rasus di novel, novel ini mengandung ideologi patriarkal yang lebih menenangkan laki-laki. Namun, transformasi dalam film mengungkapkan Srintil sebagai perempuan yang menang dan Rasus sebagai laki-laki yang maskulinnya runtuh. Melalui hal tersebut, film ini mengandung ideologi feminis. Oleh karena itu, transformasi novel ini ke film mengandung ideologi patriarki yang berubah menjadi ideologi feminis.
Kata kunci: ekranisasi, ideologi, Ronggeng Dukuh Paruk, Sang Penari

Roma Kyo Kae Saniro is ….

Irish Hening (Universitas Indonesia)
Kajian Transmedialitas: Budaya Lokal Indonesia dan Subjektivitas Perempuan dalam Film Dreadout
Email: irishhening27@gmail.com
Abstract: Film Dreadout (2019) yang disutradarai oleh Kimo Stamboel merupakan prekuel dari game Dreadout yang sudah terlebih dahulu dirilis pada tahun 2013. Sebelum menjadi film, Dreadout juga pernah dialihwahanakan ke media komik cetak dan online pada tahun 2018. Media-media tersebut membentuk satu kesatuan dunia cerita yang menciptakan semesta (universe). Persebaran cerita di dalam berbagai media tersebut dikenal sebagai transmedialitas. Oleh karena itu, dalam menganalisis teks ini akan dipergunakan teori transmedia storytelling dari Henry Jenkins. Jenkins sendiri menjelaskan bahwa setiap media mempunyai cerita sendiri yang saling berbeda satu sama lain dan pada akhirnya membentuk suatu semesta. Selain itu, di dalam teks Dreadout juga ditemukan semesta dari subjektivitas perempuan sebagai karakter heroik. Representasi tokoh heroik ini tergambarkan melalui sosok Linda Melinda yang merupakan tokoh protagonis dalam teks Dreadout. Untuk mendalami subjektivitas perempuan dalam diri Linda maka akan dipergunakan juga konsep dari Hélène Cixous mengenai subjektivitas perempuan agar dapat terlihat bagaimana peranan perempuan sebagai subjek ditampilkan melalui sosok pemeran utama cerita ini. Di dalam adaptasi game menjadi filmnya, Dreadout juga membawa unsur-unsur budaya lokal Indonesia yang sangat kental. Budaya lokal ini tergambar melalui latar belakang cerita dan para hantu yang identik berada di negara Indonesia. Film Dreadout sebagai salah satu bagian dari transmedialitas Dreadout memerupakan salah satu karya Indonesia yang mampu membangun khasanah sinematik Indonesia.

Irish Hening lahir pada tanggal 27 Juni 1994 di Jakarta. Saat ini dirinya sedang menempuh pendidikan pascasarjana untuk peminatan Susastra di Universitas Indonesia, Depok. Pada tahun 2016, ia juga telah menamatkan studi sarjananya mengenai sastra dan bahasa Jerman di Universitas Indonesia. Irish memiliki ketertarikan dalam bidang bahasa, sastra dan budaya. Saat ini, ia sendiri aktif menjadi seorang pengajar bahasa Jerman. Pada tahun 2015, ia pernah mendapatkan beasiswa untuk program kursus musim panas (Hochschulsommerkurs) di Lutherstadt Wittenberg, Jerman yang membahas mengenai budaya, sastra dan bahasa Jerman. Kemudian pada tahun ini, ia juga mendapatkan beasiswa untuk program budaya dan bahasa Jerman yang bernama Sommeruni Südostasien yang diselenggarakan di Bandung.

Ulmi Marsya (Universitas Muhammadiyah Riau)
Seksualitas Perempuan dalam Film Karya Sutradara Perempuan Indonesia Pasca Orde Baru (Analisis Studi Kasus Representasi Seksualitas Perempuan dalam Film “Berbagi Suami” Karya Nia Dinata)
Email: ulmimarsya@umri.ac.id

Abstract: Artikel ini mencoba membedah kasus mengenai bagaimana sutradara perempuan menampilkan ekspresi seksualitas perempuan pada film. Pada hakikatnya seksualitas merupakan hak dari semua makhluk tanpa memandang jenis kelamin mana yang lebih patut mengekspresikannya. Namun pada kenyataannya, ekspresi seksual seolah menjadi sebuah dosa bagi salah satu jenis kelamin yaitu perempuan. Wacana politik mengenai perempuan dan ekspresi seksualnya bahkan diatur dalam sebuah sistem kenegaraan yang lebih condong menjadikan perempuan sebagai sebuah entitas yang aseksual. Maka dari itu negara memiliki andil dalam membentuk konstruksi sosial khususnya pada seksualitas perempuan terutama pada masa pemerintahan rezim orde baru. Wacana tersebut juga tercermin dalam film sebagai sebuah produk budaya yang dikuasai oleh kaum laki-laki, seringkali mengangkat realitas sosial yang turut menempatkan ekspresi seksualitas perempuan sebagai gambaran perempuan tidak baik. Nia Dinata kemudian hadir sebagai salah satu sutradara perempuan pasca reformasi yang membangkitkan perfilman Indonesia yang sempat mati suri. Dengan membawa agenda feminis, Nia Dinata mencoba untuk menampilkan bagaimana suatu hubungan antar manusia dalam tatapan perempuan, termasuk seksualitas seperti pada film “Berbagi Suami”. Meskipun film ini dirilis pada tahun 2006, namun peneliti tertarik untuk menampilkan bagaimana peran sutradara perempuan menempatkan ekspresi seksual perempuan sebagai hak kaum perempuan, karena seksualitas dan perempuan hingga kini masih dianggap sebagai suatu hal yang tabu.
Key words: Women’s Sexuality, Indonesian Cinema, Female Director, Feminism

Ulmi Marsya adalah…

Debby Dwi Elsha (Universitas Teknologi Yogyakarta)
Komodifikasi Sensualitas Perempuan Dalam Film Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1 dan 2.
Email: debbyelsha@gmail.com

Abstract: Penelitian ini akan membedah kasus mengenai komodifikasi sensualitas perempuan yang ditampilkan dalam film Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1 dan 2. Sensualitas perempuan yang dihadirkan dalm film tidak dapat dilepaskan dari kepentingan komersial yang menjadi tujuan utama produksi film. Dalam seluruh film Warkop DKI yang berjumlah 36 judul selalu sosok perempuan dengan pakaian yang terbuka dan memerankan adegan-adegan yang sarat dengan dengan sensualitas. Perempuan seksi pun menjadi hal yang ikonik dari film-film Warkop DKI. Seri film Warkop DKI laris di pasar dan mendapatkan keuntungan komersial oleh karena itu, film terus diproduksi hingga empat dekade. Sebagai satu-satunya film Indonesia yang sukses diproduksi hingga puluhan judul, dua judul film terbaru menjadi penting untuk diteliti agar dapat mengkaji keterkaitan penyajian sensualitas perempuan di dalam film dengan kesuksesan komersial yang diraih oleh film tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode studi kasus. Tujuan penelitian adalah untuk memberikan arahan dan referensi pemikiran kritis kepada konsumen, produsen serta distributor film produksi Indonesia agar dinamika industri film di Indonesia dapat mengutamakan pada kualitas konten cerita dan teknis produksi yang mumpuni sebagai nilai jual film dalam industri film Indonesia yang sadar akan kesetaraan gender. Permasalahan yang hendak diangkat dalam penelitian ini akan dianalisis menggunakan metode kualitatif dengan pisau analisis studi kasus.

Debby Dwi Elsha, S.I.Kom., M.A mengajar di Prodi S1 Ilmu Komunikasi Universitas Teknologi Yogyakarta (UTY). Berpengalaman melakukan penelitian dalam bidang film baik produksi dalam negeri maupun luar negeri. Salah satu judul penelitian terbarunya adalah “Representasi Perempuan Dalam Film Spectre”. Selain mendalami kajian film, juga mendalami kajian perempuan dan gender. Sebagai dosen pengampu mata kuliah Sinematografi, ia juga membina kegiatan-kegiatan mahasiswa dalam klub film Prodi S1 Ilmu Komunikasi (UTY). Berbekal pengetahuan mengenai film yang didapat salah satunya melalui keterlibatan dalam komunitas film independen bernama Montase yang berbasis di Yogyakarta, serta pengalaman membuat film pendek fiksi dan dokumenter, ia pun rutin menulis kritik film Indonesia yang dipublikasikan melalui website montasefilm.com.
_________________________________________________________________________________________________________________________

PANEL 5

Identity 1
Chair:

Presenters: Sazkia Anggraini (Institut Seni Indonesia Yogyakarta); Budi Irawanto (Universitas Gadjah Mada); Irham Nur Anshari (Universitas Gadjah Mada); Moh. Bahruddin (Universitas Indonesia)


Sazkia Anggraini (Institut Seni Indonesia Yogyakarta)
Yogyakarta dalam Narasi Dana Istimewa
Email: sazkia.na@gmail.com

Abstract: Sejak Undang-undang Keistimewaan disahkan, Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) konsisten menggelar program kompetisi Pendanaan Pembuatan Film. Dalam genre fiksi dan dokumenter, film-film terpilih yang difasilitasi telah menafsirkan dinamika kebudayaan di DIY dengan cukup beragam. Asumsinya, film-film tersebut setidaknya mampu mewujudkan tata nilai budaya masyarakat yang berbasis pada nilai-nilai luhur budaya lokal. Namun demikian, beragamnya perspektif dan pendekatan yang digunakan sineas dalam produksi film kompetisi tentunya membangun realita baru akan narasi keistimewaan Yogyakarta. Penelitian ini memeriksa bagaimana konstruksi keistimewaan DIY dibangun lewat narasi dua film pemenang kompetisi pada tahun 2016-2017. Dalam penelitian ini ditemukan ketidaksesuaian struktur narasi film-film dengan gagasan yang digunakan untuk menemukan struktur luar sesuai analisis naratif menurut Todorov. Apa yang ditemukan dari analisis naratif pada kedua film merupakan narasi domestik terkait relasi keluarga, kesetiaan terhadap pasangan demi menjalankan apa yang dianggap benar dalam ajaran agama, meski tidak lazim diterima norma sosial. Jika hal ini yang mengonstruksi keistimewaan DIY, maka aset budaya yang begitu kaya, jati diri masyarakat yang majemuk, ketahanan budaya yang katalistik, nilai pengetahuan, norma, adat, seni, tradisi dan dinamika kebudayaan yang kompleks justru tersimplifikasi dengan sebuah narasi domestik dan religiusitas. Ketidaksesuaian ini sekaligus menjadi suatu penemuan yang penting dalam praktek reproduksi makna lewat film-film yang semula dibuat sebagai representasi keistimewaan Yogyakarta.
Kata kunci : naratif, konstruksi keistimewaan, film kompetisi Danais

Sazkia Noor Anggraini (Anggi) adalah staf pengajar di Prodi Film dan Televisi, Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Selain mengajar, ia juga melakukan penelitian di bidang arsip, kajian naratif dan sejarah film. Sekarang ia sedang belajar menjadi programmer di program pertukaran film pendek Indonesia Raja 2019.


Budi Irawanto (Universitas Gadjah Mada)
Mementaskan Nasionalitas di Tapal Batas: Konstruksi ‘Keindonesiaan’ Dalam Film Tanah Surga ..Katanya (2012)
Email: budiirawanto@yahoo.com

Abstract: Sejarah ‘film nasional‘ atau ‘film Indonesia’ acap ditulis sebagai bagian dari kelahiran ‘bangsa’ dengan aroma nasionalisme yang pekat. Selain itu, film nasional dikonstruksikan dengan membuang seluruh anasir ‘asing’ yang mengiringi kelahirannya. Tak aneh, jika ada elemen etno-nasionalis yang kuat dalam gagasan film nasional.  Di samping kerja sejarawan dan kritikus film, festival film yang disponsori oleh pemerintah menjadi sarana mengukuhkan ‘identitas’ film Indonesia.  Pada saat yang berbarengan, film juga menjadi instrumen untuk mendefinisikan ‘keindonesiaan’ lewat cara pengontrasan dengan identitas bangsa lain. Menggunakan film terbaik Festival Film Indonesia (FFI), Tanah Surga..Katanya (2012) karya Herwin Novianto sebagai studi kasus, makalah ini hendak menginterograsi proses pengontruksian keindonesiaan dalam kontrasnya dengan negara tetangga (Malaysia). Mengambil latar cerita di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia, film Tanah Surga..Katanya tidak sekadar mempertontonkan pandangan tentang Indonesia dari wilayah pinggiran (perbatasan), tetapi juga mempromosikan konstruksi ‘keindonesian’ yang lebih unggul dari bangsa lain. Alih-alih menjadikan posisi perbatasan sebagai peluang mengenali lebih baik negara tetangga, film ini justru menjadi cara  mengukuhkan  nasionalitas Indonesia lewat narasi yang cenderung eksklusif serta mengingkari kemungkinan silang pengaruh antarnegara yang berdekatan. Dengan kata lain, film ini sekadar mereproduksi narasi resmi tentang nasionalisme maupun identitas nasional ketimbang menawarkan konstruksi alternatif tentang keindonesiaan. 
Kata kunci: film Indonesia, keindonesiaan, nasionalitas,  identitas, perbatasan,

Budi Irawanto merampungkan studi doktoralnya pada Department of Southeast Asian Studies di National University of Singapore dan menulis disertasi tentang politik kultural sinema kontemporer di Indonesia dan Malaysia. Selain mengajar pada Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas  Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada, sejak 2018, ia berkidmad sebagai presiden  Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) serta beberapa kali diundang sebagai  juri dalam  pelbagai festival film nasional maupun internasional. Pernah menjadi Visiting Fellow pada ISEAS-Yusof Ishak Institute, Singapura (2018-2019), saat ini ia  adalah peneliti pada Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT), Universitas Gadjah Mada.

Irham Nur Anshari (Universitas Gadjah Mada)
Memori Perang Dingin dalam Sinema: Studi Kasus Memori Kekerasan ’65 dalam Sinema Indonesia
Email: irham.anshari@gmail.com

Abstract: Membicarakan lokalitas sinema Indonesia, tidak bisa dilepaskan dari situasi sejarah spesifik Indonesia. Presentasi ini tertarik untuk mendiskusikan bagaimana sinema Indonesia kontemporer merespon sejarah penting Indonesia, yaitu peristiwa kekerasan ’65. Peristiwa kekerasan ’65 identik dengan sebuah momen panjang kekerasan di awal lahirnya Orde Baru, di mana negara melalui militer dan paramiliter menumpas dan menghabisi warga yang dianggap simpatisan Partai Komunis Indonesia. Peristiwa tersebut tidak bisa dilepaskan dalam konteks global perang dingin. Konstruksi sejarah “manipulatif” sepanjang Orde Baru –termasuk melalui sinema– yang masih banyak dipelihara hingga masa kini, membuat banyak sineas kontemporer mencoba menawarkan wacana alternatif dengan berbagai metode dan tantangannya masing-masing. Salah satu metode paling populer adalah menggali memori peristiwa kekerasan ’65 atau perang dingin dari para penyintas untuk direpresentasikan ulang dalam bentuk dokumenter. Presentasi ini mencoba membedah bagaimana metode dan tantangan dari para sineas dalam mengolah memori di balik beberapa film Indonesia dengan tema ’65. Tiga sineas utama dalam penelitian ini yaitu: Anonim (sutradara film Jagal dan Senyap), Ilman Nafai (Kami Hanya Menjalankan Perintah, Jenderal!), dan Tintin Wulia (1001 Martian Nights dan Pulang). Sebagai komparasi konteks perang dingin yang lebih luas, presentasi ini akan turut mempertimbangkan praktik serupa di negara lain di Asia Tenggara.

Irham Nur Anshari adalah staf pengajar di Departemen Ilmu Komunikasi, Universitas Gadjah Mada. Ia lulus dari S1 Ilmu Komunikasi, Universitas Gadjah Mada dan S2 Kajian Budaya dan Media, Universitas Gadjah Mada. Minat kajiannya seputar film, budaya visual, dan media baru.



Moh. Bahruddin (Universitas  Indonesia)
Dinamika Islam antara Agen dan Struktur dalam Film Ketika Mas Gagah Pergi (KMGP)
Email: muh.bahruddin77@gmail.com

Abstract: Pascareformasi 1998, beragam kelompok identitas Islam di Indonesia bermunculan. Jika sebelumnya masyarakat didominasi oleh dua kelompok Islam terbesar di Indonesia yaitu Nahdhatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, maka setelah peristiwa reformasi kelompok Islam lain mulai berani menunjukkan eksistensinya seperti Hizbuttahrir Indonesia (HTI) yang telah didirikan pada tahun 1983. Bahkan beberapa di antaranya baru didirikan setelah peristiwa reformasi seperti Front Pembela Islam (FPI) pada tahun 1998 dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) pada tahun 2000. Realitas sosial ini menunjukkan terjadinya dinamika sosial di masyarakat, khususnya pada masyarakat Islam. Tarik menarik antara Islam kultural dan kelompok Islam puritan ini memungkinkan terjadinya perubahan sosial di masyarakat. Keduanya berusaha saling mendominasi. Dinamika ini bisa dilihat dari kerangka teori strukturasi yang ditawarkan oleh Giddens. Teori ini membantah tradisi strukturalisme dan fungsionalisme yang menganggap bahwa perubahan sosial hanya bisa dilakukan oleh struktur. Di sisi lain, teori ini juga sekaligus menolak tradisi hermeneutika dan sosiologi interpretatif yang hanya fokus pada individu (agen) saja dalam melakukan perubahan sosial. Giddens menawarkan dualitas struktur yaitu perubahan sosial tidak hanya bisa dilakukan oleh struktur tapi juga individu (agen). Atas dasar itu, peneliti memilih film berjudul Ketika Mas Gagah Pergi  (2016) yang disutradarai  oleh Firman Syah. Film ini diadaptasi dari novel dengan judul sama yang ditulis oleh Helvy Tiana Rosa pada tahun 1992. Penelitian ini menarik untuk dikaji tidak hanya untuk melihat bagaimana sineas mengkonstruksi dinamika sosial antara agen dan struktur dalam sebuah film tetapi juga menarik untuk melihat ideologi dan konteks sosial ketika film ini diproduksi. Untuk membongkar itu, penelitian ini menggunakan metode analisis wacana kritis model Van Dijk. Hasilnya adalah sineas berhasil mereproduksi realitas sosial ke dalam sebuah film dengan memanfaatkan sumber daya dan menaati norma sosial dalam struktur. Kebebasan reformasi di segala bidang, khususnya infrastruktur di masyarakat, dimanfaatkan sineas dalam mengubah struktur sosial yang dianggap jauh dari nilai-nilai Islam melalui cerita remaja. Konteks sosial politik inilah yang digunakan sineas untuk mendekatkan penonton agar dinamika antara agen dan struktur dalam masyarakat Islalm bisa dipahami melalui sebuah film.
Kata Kunci: Film, Strukturasi, Konstruksi, Agen, dan Struktur

Moh. Bahruddin is student of PhD program in Communications at University of Indonesia. Currently, he is finishing fieldwork for his PhD program with thesis topic: Islamic identity construction on a terrorism-themed Indonesian film. In 2005-2010 he was a lecturer and head of communications program at Yudharta University, Pasuruan. In 2010 – now, he is a lecturer in media and communications at visual communications program, Stikom Surabaya.  On this campus he has been the head of visual communications program for 4 years (2012-2016).
_________________________________________________________________________________________________________________________

PANEL 6

Identity 2
Chair:

Presenters: Anton Sutandio (Universitas Maranatha); Lala Palupi Santyapuri (Universitas Pelita Harapan); Indah Wenerda and Michi Kartika Sari Dewi (Universitas Ahmad Dahlan); Utin Ririn Mardiyah al-Anshari (Kembang Layar Indonesia)
___________________________________________________________________________

Anton Sutandio (Universitas  Maranatha)
Chinese-Indonesian-ness in Four Films by Ernest Prakasa
Email: anton.sutandio@gmail.com
Abstract: This article discusses four films by Enest Prakasa, Ngenest (2015), Cek Toko Sebelah (2016), Susah Sinyal (2017), and Stip & Pensil (2017) in the context of how the four films construct Chinese-Indonesian-ness.  Chinese-Indonesian-ness is simply defined as the quality of being a Chinese-Indonesian; what it means to be Chinese descendants living in Indonesia.  Historically, especially during the New Order regime, Chinese-Indonesians’ position as citizens was repressed due to centuries-long sentiment as a result of the Dutch “divide et impera” policy.  The New Order regime maintained this policy to put the economically prosperous Chinese-Indonesians under their thumbs.  In the context of cinema, the appearance of Chinese-Indonesians on the screen during the New Order regime was scarce, and if there is any, the depiction was highly stereotyped.   Only after Reformation era in the late 1990s that Chinese-Indonesians and their culture began to re-appear on screen.  Ernest Prakasa is one of few Chinese-Indonesians who publicly celebrate his Chinese-ness through entertainment platform.  Ethnicity theory will be applied on the discussion of the film cinematography and mise-en-scene to show what the films say about the concept of Chinese-Indonesian-ness.  The findings show that Prakasa not only celebrates being a Chinese-Indonesian, but he also performs a self-mockery as Chinese-Indonesians by explicitly emphasizing the Chinese-Indonesians stereotypes.  He also tries to re-establish ethnical relationship and introduce contemporary Chinese-Indonesian-ness concept through his films.
Keywords: Chinese-Indonesian-ness, ethnicity, Ernest Prakasa

Anton Sutandio was born in May, 1974 in Bandung, Indonesia.  In 2009, he received a Fulbright scholarship to pursue his doctoral degree in Ohio University, majoring in Film and Theatre.  Currently, Anton works at the Faculty of Languages and Cultures, Maranatha Christian University as a senior lecturer and the Dean of the faculty from 2016 to 2020.  His main focus in research is film, cultural studies, and theatre.

Lala Palupi Santyapuri (Universitas Pelita Harapan)
Historiografi Indonesia-Tionghoa Dalam Film Karya Mahasiswa
Email: lalapalupis@gmail.com

Abstract: Indonesia-Tionghoa dalam film Indonesia jarang menjadi subyek utama pada narasi bahkan masih termarjinalkan. Marjinalisasi pada Indonesia-Tionghoa ini melihat kembali sejarah Indonesia yang tidak memberikan ruang yang sama dengan warga negara Indonesia yang lain. Perkembangan film Indonesia saat ini melahirkan banyak pembuat film generasi milenial terutama yang lahir dari sekolah perfilman. Analisa secara narasi dan visual dilakukan pada dua karya mahasiswa tentang Indonesia-Tionghoa dengan menggunakan metodologi penelitian naratif dengan pendekatan kualitatif. Tahapan riset yang dilakukan oleh sutradara akan menjadi titik tolak dalam penelitian ini terutama dalam mempelajari sejarah. Dua obyek penelitian yang diangkat dalam penelitian masing-masing ini adalah film dokumenter “Vanesz/Sinchu” dan film fiksi “Bulikan”. Dua film ini mewakili representasi Indonesia-Tionghoa masa kini dan masa lalu. Penelitian ini sebagai studi historiografi pada visualisasi dan narasi film karya generasi milenial.
Keyword: historiografi, Indonesia-Tionghoa, film, mahasiswa

Lala Santyaputri merupakan staf pengajar tetap di Universitas Pelita Harapan, School of Design Jurusan Desain Komunikasi Visual. Latar belakang pendidikan Sarjana S1 Desain Komunikasi Visual, pada tahun 2016 meraih gelar Doktor dari Institut Teknologi Bandung, Fakultas Seni Rupa dan Desain. Peminatan penelitian pada sejarah film Indonesia, film dan gender, film dan budaya, semiotik dalam
Film.


Indah Wenerda and Michi Kartika Sari Dewi (Universitas Ahmad Dahlan)
Resepsi Penonton Terhadap Citra Ahok Melalui Film A Man Called Ahok
Email: indah.wenerda@comm.uad.ac.id, cakepkiki@gmail.com

Abstract: Film merupakan salah satu media massa yang dapat memberikan pengaruh pada khalayak. Tidak jarang para pembuat menggunakan film sebagai media propaganda dalam menyampaikan ideologi kepada masyarakat. Akibatnya film berperan penting dalam perkembangan sosio-kultural. Namun keberpengaruhan sebuah film (resepsi) bergantung pada proses negosiasi yang dilakukan khalayak saat menonton. Salah satu film biografi besutan Putrama Tuta yang berjudul “A Man Called Ahok” hadir di tengah masyarakat pada tahun 2018 lalu setelah beberapa polemik yang muncul berkaitan dengan sepak terjang Ahok sendiri sebagai pemimpin Jakaarta yang kontroversial hingga terseret kasus dugaan penodaan agama. Tulisan ini dibuat menggunakan metode kualitatif yang berfokus pada analisis resepsi penonton Film “A Man Called Ahok”. Resepsi penonton pada tulisan ini menggunakan model encoding dan decoding milik Stuart Hall untuk mengetahui resepsi penonton terhadap citra Ahok. Berbagai latar belakang penonton menjadi faktor yang berpengaruh dalam proses pencerapan film kontroversial “A Man Called Ahok” terhadap citra Ahok. Diantaranya dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, latar belakang kehidupan keluarga yang menjadi bagian dari masa lalu, serta kegiatan sosial yang menjadi rutinitas harian yang turut mempengaruhi ideologi  penonton ketika memutuskan merubah persepsi mereka atas citra Ahok antara sebelum dan setelah menonton Film  “A Man Called Ahok”.
Kata kunci: film, resepsi, penonton, citra, Ahok.
Indah Wenerda. Salah satu staff pengajar di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Minat riset Kajian Film, Kajian Iklan, Literasi Digital, Kajian Budaya dan Media. Penulis dapat dihubungi melalui email indah.wenerda@comm.uad.ac.id
Michi Kartika Sari Dewi. Salah satu alumni dari Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Penulis dapat dihubungi melalui email cakepkiki@gmail.com 


Utin Ririn Mardiyah al-Anshari (Kembang Layar Indonesia)
Memetakan Kegelisahan dan Resolusi Milenial lewat Tiga Film Pendek Indonesia
Email: rien.al.anshari@gmail.com

Abstract: Perkembangan produksi film pendek Indonesia yang semakin ramai belakangan ini tidak berbanding lurus dengan perkembangan kritik terhadap film pendek yang membicarakan gagasan di dalamnya.1 Gagasan yang kemudian berkembang menjadi narasi, sebagaimana yang dimaksud Barthes adalah hal pertama dan terutama yang merupakan variasi dari genre yang luar biasa, di mana ia didistribusikan di antara berbagai substansi—seolah-olah materi apa pun cocok untuk menerima cerita manusia (Barthes 1977, p.79)  Esai ini dibuat dengan tujuan untuk menelaah karakterisasi penceritaan tiga film pendek Indonesia: Kembalilah Dengan Tenang (Reza Fahriyansyah), Kado (Aditya Ahmad) dan Datok (Angkasa Ramadhan).  Penulis akan melakukan eksplorasi terhadap struktur dalam pembangunan narasi film untuk menunjukkan bagaimana ketiga pembuat film tersebut berusaha menyampaikan makna melalui cara yang tidak berbeda dari bahasa dalam membangun komunikasi, utamanya dalam menghubungkan kegelisahan-kegelisahan mereka terkait identitas mereka sebagai millenial dalam melihat realitas pada ruang-ruang dalam sistem sosial masyarakat. Pemilihan terhadap ketiga film ini didasarkan pada pesebaran lokasi yang mewakili kondisi masyarakat dalam tiga kota di tiga pulau yang berbeda: Jogjakarta (Jawa), Makassar (Sulawesi) dan Pontianak (Kalimantan) sehingga ia diharapkan dapat menjadi contoh dari pesebaran masalah yang terkandung dalam narasi dari berbagai populasi. Melalui esai ini penulis berharap perkembangan teori dan praktek produksi film dapat berjalan seiringan dengan pengembangan cerita yang mengandung suara-suara para pembuat film dari berbagai wilayah Indonesia yang sangat luas.

Rien al-Anshari atau Utin Ririn Mardiyah al-Anshari adalah pembuat film dan penulis Indonesia yang lahir di Pontianak, 8 Februari 1986. Ia belajar bisnis dan menempuh pendidikan diploma di Politeknik Tonggak Equator. Sejak 2013, ia telah memproduksi enam film pendek dengan berbagai genre. Ia pun pernah bekerja sebagai creative di Biznet Networks, sebuah stasiun TV berbayar di mana ia mendapatkan pengalaman dan kesempatan untuk mengembangkan program dan serial. Saat ini, bersama penyanyi legendaris Vina Panduwinata, ia mengembangkan serial animasi anak-anak dengan semangat membangkitkan kembali tontonan imajinatif yang dapat mengajak anak-anak Indonesia untuk berpikir kritis. Project yang berjudul: Two Brothers and The Ticking World tersebut menjadi delegasi Indonesia dalam Asian Animation Summit di Seoul, Korea Selatan 2019 ini.    Buntat Intant (Scarlet Snooker) adalah salah satu feature project yang ia kembangkan bersama suaminya, sutradara muda, Angkasa Ramadhan. Project tersebut masuk dalam seleksi South East Asian Film Lab, Singapore International Film Festival 2018, lalu. Rien al-Anshari dan Angkasa Ramadhan kemudian menginisiasi Kembang Layar Indonesia, sebuah rumah produksi yang akan bergerak mengembangkan folklore dan mendekonstruksi ulang mitos-mitos lokal, di mana salah satu pengembangan cerita mereka yang berjudul House of Tanjong masuk dalam seleksi Laboratorium Olah Cerita dan Kisah (LOCK) 2019 ini.

PANEL 7

The Visceral and the Haptic
Chair:

Presenters: Julita Pratiwi (Institut Kesenian Jakarta); Sekar Sari (University of Roehampton); Panji Wibowo (Institut Kesenian Jakarta); Renta Vulkanita Hasan and Romdhi Fatkhur Rozi (Universitas Jember)


Julita Pratiwi (Institut Kesenian Jakarta)
Telaah Praktik Intertektualitas dari Lukisan ke Film
Email: pratiwij@gmail.com

Abstract: Intertekstualitas merujuk pada praktik pengutipan sebuah teks ke dalam teks lain sebagai ekspresi dari kesadaran kultural yang diperluas. Lukisan kerap dijadikan referensi visual dalam penciptaan konsep visual sebuah film. Esai ini hendak menelaah praktik intertektualitas dari lukisan maestro seperti ‘Penangkapan Pangeran Diponegoro’ - Raden Saleh dan ‘Sultan Agung’ - Soedjojono pada beberapa scene dalam film Sultan Agung (2018). Bagaimana dinamika makna yang ada pada visual saling berkontestasi – antara masih terjaga dan mengalami transformasi?
Kata Kunci: Intertektualitas, Visual, Lukisan, Film, Bricolage

Julita Pratiwi atau dikenal dengan Juju sedang meniti karirnya di bidang akademis sebagai Asisten Dosen Teori Kritis Fotografi di Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta. Kini juga dalam proses meramu buku saku
Pengantar: Teori Kritis Fotografi. Memiliki perhatian untuk meneliti ranah visual seputar elemen gaya atau style pada film maupun fotografi ke depan nanti.


Sekar Sari (University of Roehampton)
The Language of the Body on Memories of My Body
Email: sekarsasha@gmail.com

Abstract: The movement of the body and the surrounding elements have become a signifier to deliver message and even a medium of communication in a number of Indonesian films. A prominent Indonesian director who has been using dance as the style of narrating the story is Garin Nugraho whose creativity has drawn attention from international audiences. He has created several films using body movement as the main characteristic of the film, including Memories of My Body (2018) his latest work that will be the focus of the discussion. Garin has been inspired from the local tradition expressed through dance. Therefore, it is deemed necessary to understand how the narration of Indonesia is delivered through the ‘dance film’. Furthermore, it is significant to be noted that the movie shot in Yogyakarta and the filmmaking process is separated from the cycle of Indonesian film industry. This film is categorised into art-house movie with the budget much lower compared to the commercial movie. There is a particular production chain and distribution of this dance film. The early step of production process for instance, begin with the life story of a Lengger dancer Riyanto, who has become the main inspiration of the movie. Hence, it is significance to understand the creative process of the film including the division of the authority of the filmmaker such as director and the choreographer who deliver the body movement as the language for narrating the story. Moreover, the paper will explore the affordance of the dance film for performing the heritage and local tradition.
Sekar Sari is the first Indonesian to receive the Erasmus Mundus scholarship for a Master of Art in Choreomundus-International Master on Dance Knowledge, Practice, and Heritage. While her BA degree was from International Relations, Universitas Gadjah Mada, Indonesia fulfilling her eagerness to explore the cultural diplomacy. Since she was a child, her passion is on art and performances. She has been exploring the stage and the screen as performer: dancer, presenter, and actress. A number of awards for her acting performance are best actor prize in The Singapore International Film Festival 2014, best actress in Usmar Ismail Awards 2016, best young actor in Indonesian Movie Actors Awards 2016, and Young Iconic Actress Award by Top10 Asia. She is also actively involved in research on art and culture and archiving project, for instance through a project called ‘Recording the Future (RtF)’.


Panji Wibowo (Institut Kesenian Jakarta)
Imaji-impulsi dan Dunia Punca dalam Sekala Niskala
Email: panji.wibowo@gmail.com

Abstract: Sejak kemerdekaan Indonesia,  tak banyak dilakukan ekplorasi wahana sinema. Film-film kita masih didominasi oleh rezim naratif. Salah satu faktor yang menyebabkan adalah apresiasi dan kritik hanya berkutat pada persoalan cerita. Sementara, sebagian besar sutradara, dengan segala kemudahan produksi, membekerjakan sinematografi dan mise-en-scene hanya sebatas kosmetik. Sedikit berbeda dengan yang dilakukan oleh Kamila Andini, melalui Sekala Niskala (dan film-film sebelumnya), ia tidak sekedar mengandalkan cerita, namun keseluruhan aspek pembentuk bahasa sinematik dibekerjakan untuk mencipta dunia yang menjadi proyeksi karakter dalam film itu.  Dalam tulisan ini, saya hendak menawarkan sebuah ‘pembacaan’ yang tidak melulu cerita, namun mencoba mempercakapkan tawaran-tawaran dari pembuatnya. Baik dari segi penceritaan sinematik maupun dari sisi produksi imaji-imaji dari film tersebut.
Kata kunci: imaji-impulsi, dunia punca, penceritaan sinematik

Panji Wibowo menyelesaikan studi di Fakultas Film dan Televisi (FFTV) Institut Kesenian Jakarta (IKJ) jurusan Penyutradaraan dan jurusan Kajian Sinema, serta pernah belajar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara (1999-2002). Aktif sebagai inisiator pembentukan Badan Perfilman Indonesia (BPI) dan Asosiasi Pengkaji Film Indonesia (Kafein). Sejak 1996 menjadi sutradara lepas dan mengerjakan berbagai program audio-visual, program televisi, video musik, film Iklan, film pendek dan film dokumenter. Mulai 2002 memfokuskan diri dalam kajian film, pelatihan film, penulisan kreatif, dan penyutradaraan film. Beberapa karya filmnya antara lain, film pendek “Mencari Sudirman” produksi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta & Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) serta film dokumenter “After The Storm” (“Ketika Badai Pergi”) produksi bersama Ideogram, Federich Eberts Stiftung (FES), dan Program Studi Islam & Kenegaraan Paramadina (PSIK), 2017.
Pengalaman menjadi juri antara lain: Ketua juri Festival Film Pendek Jabodetabeka 2013 dan 2014, juri Piala Vidia Festival Film Indonesia (FFI) 2014, juri Apresiasi Film Indonesia (AFI) Kemendikbud 2015, juri Festival Film Jawa Barat (FFB 2015 dan 2016), juri Film Fiksi Malang Film Festival (MAFI) 2017-2018, Himafisi Film Festival-UNEJ 2018, serta juri Denpasar Film Festival 2018. Pengalaman menjadi narasumber, instruktur, pemateri antara lain: Workshop Peningkatan Produksi Film “Lived Reality Documentary” 3 region (Jakarta, Surabaya, Bali, Kemenparekraf & Community Supported Film, 2012), Workshop Penulisan Naskah Pustekkom (Kementeriaan Pendidikan dan Kebudayaan, 2015), Workshop Film Dokumenter Denpasar Film Festival (DFF 2015-2018). Lima kali menjadi penyusun modul dan pengajar Kelas Penyutradaraan dalam Workshop Perfilman Tingkat Dasar dan Workshop Perfilman Tingkat Menengah, Pusat Pengembangan Perfilman (Pusbang Film 2016-17). Workshop Literasi Film “Memperkenalkan Estetika Film” (Malang Film Festival, 2018), Workshop Pembuatan Film Dokumenter Sejarah (3 region: Bandung, Batam, Kendari) Direktorat Sejarah, Kemendikbud, 2019. Menulis buku “Penyutradaraan Film” (Pusbang Film, Kemendikbud 2017)


Renta Vulkanita Hasan and Romdhi Fatkhur Rozi (Universitas Jember)
Senyap: Petunjuk Filmis, Pengalaman Penonton dan Proposisi Pascaperistiwa 1965
Email: rentavulkanita.sastra@unej.ac.id; romdhi_fatkhur_rozi@yahoo.co.id

Abstract: Menanggapi narasi dokumenter ‘Senyap”, peneliti dalam hal ini merasa perlu mengambil posisi dari sudut pandang kajian film untuk menyelidiki proposisi yang ditawarkan oleh Oppenheimer. Oppenheimer telah menciptakan realitas atau peristiwa baru yang cukup diskursif melalui kerja profilmis yang dikemas sebagai dokumenter. Melalui “Senyap”, Oppenheimer seolah memberikan proposisi tentang rekonsiliasi sebagai petunjuk yang dicitrakan sebagai sesuatu yang “terjadi” pascaperistiwa 1965. Proposisi ini penting diselidiki untuk melihat sejauh mana kerja profilmis digunakan oleh Oppenheimer untuk membangun realitas peristiwa melalui “Senyap”. Melalui kerja profilmis, terciptalah kerangka ‘petunjuk filmis’ yang barangkali dimaksudkan untuk mengarahkan struktur mental penonton terhadap tawaran-tawaran proposisi Oppenheimer. Proposisi tentang peristiwa ini akan semakin kuat (bahkan dapat berkembang menjadi klaim) apabila penonton mampu menghasilkan pengalaman tentang suatu peristiwa, yang bahkan penonton sendiri belum tentu memiliki akses terhadap peristiwa sebenarnya. Menilik gagasan Arnheim yang menyatakan bahwa film merupakan rangkaian montase yang menyatukan berbagai situasi shot atas peristiwa yang terjadi pada waktu dan tempat yang berbeda (Arnheim, 1957: 87), memperkuat dugaan bahwa kerja profilmis, dalam hal ini rangkaian shot, dapat digunakan untuk menciptakan proposisi tentang peristiwa.
Kata kunci: proposisi, dokumenter, kerja profilmis, kognitif

Renta Vulkanita Hasan. Peneliti dan pengajar pada Prodi Televisi dan Film, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Jember. Minat riset pada dokumenter Asia Tenggara Pasca Perang Dingin. Menyelesaikan studi doktoral di Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Universitas Gadjah Mada dan Sandwich Program di Leiden University, The Netherlands.

Romdhi Fatkhur Rozi. Mantan pegiat pers mahasiswa dan menjadi pembina beberapa Lembaga Pers Kampus di Universitas Jember. Dosen pada Program Studi Televisi dan Film Universitas Jember sejak tahun 2011. Aktif mengikuti seminar dan konferensi akademik serta menulis pada jurnal, prosiding dan media publikasi lainnya. Menekuni kajian-kajian media, jurnalistik dan film. Saat ini terdaftar sebagai mahasiswa program doktoral Media dan Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga.

CLOSING SPEAKER
Quirine van Heeren, Transmedia/Leiden University
“Postcolonial View from The Other Side: Dutch Co-Director of Bumi Manusia”
Email: cvanheeren@hotmail.com

Quirine van Heeren was born on 7 January 1973 in Jakarta Indonesia. She has been a student of Indonesian Languages and Cultures since 1995. Over the years she built up a specialization in Javanese culture, Indonesian Islam, and contemporary audio-visual media. In 2000 she obtained her Masters degree at the University of Leiden with a thesis on media, identity politics and socio-political influences of New Order rule in Indonesian culture in the analysis of two Indonesian films. From 2001 to 2005 she was member of the Indonesian Mediations research project. This project was part of a larger Dutch KNAW research project of Indonesia in Transition. In June 2009 she obtained her doctorate. Between 2001 and 2010 she has organized several film screenings in the Netherlands and Indonesia, as well as took part at different film festivals as a member of the jury. She is affiliated to ASEACC, which bi-annually organizes the Southeast Asian Cinemas Conference, and KSI, a group of Indonesian scholars who study recent developments in Indonesian audio-visual media

PANEL 8

Regional Cinema
Chair:

Presenters: Zakki Fuad Khalil (Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh) and Muhammad Akbar Rafsanjani (Aceh Film Festival); Azhari dan M. Fauzi (Yayasan Aceh Documentary); Arfan (Universitas Muhammadiyah Malang)
___________________________________________________________________________
Zakki Fuad Khalil (Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh) and Muhammad Akbar Rafsanjani (Aceh Film Festival)
Aceh Dokumenter: Transformation of Acehnese Values in Documentary Film
Email: bbrjani@gmail.com

Abstract: The Acehnese documentary community was born as a manifestation of the anxiety of filmmakers in Aceh, especially for young people both university students and high school students in order to foster the spirit of Acehnese values through art works in the form of documentary films in order to produce quality and educational performances. The Aceh documentary community produces the best filmmakers from 2013 to the present through the recruitment system with receiving attractive proposal ideas. So that the proposal was re-selected and then chosen into five teams to undergo in house training program for ten days from pre-production to post-production. The selection of themes every year is always adjusted to local phenomena such as The Power of Aceh (2013), The Soul of Culture (2014), For you Aceh (2015), Keumang (2017), Teuma (2018), and Geunulam (2019). The purpose of this paper is to look at the transformation of ethnic/Aceh values through interesting facts from educational, religious, cultural, environmental, social and economic issues through the medium of documentary films. This is what will be described in the writing through documentary films, such as a documentary film entitled "Teungku Rangkang" which is a product of the theme The Soul of Culture (2014), which tells the story of the recitation of the Quran using the baghdadiyah law that is commonly used throughout Aceh. The selection this kind of  film titles related with Acehnese local values that can have a positive impact on Aceh in raising regional issues through film media in order to introduce cultural values of Aceh.
Keywords: Aceh, dokumenter, film

Zakki Fuad Khalil, lahir pada tanggal 19 November 1990 di Desa Parom, Kabupaten Nagan Raya. Pendidikan S-1 di selesaikan pada Tahun 2013 pada jurusan Ilmu Pemerintahan, Universitas Muhamnadiyah Malang dan S-2 selesai pada tahun 2015 di jurusan Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, Universitas Sumatera Utara. Beliau selama ini aktif sebagai staf pengajar pada Prodi Ilmu Administrasi Negara, UIN Ar-Raniry Banda Aceh. Selain itu juga aktif sebagai pemerhati film dan sekaligus salah satu pengurus Aceh Dokumenter. Kontribusi yang dilakukan dalam dunia film pernah membuat produksi film "Syair Rimba" yang menceritakan tentang pejuang pengambilan madu oleh masyarakat Buloh Seuma dengan cara prosesi adat yang selama ini telah dilakukan secara turun-temurun. Karya lainnya yang  dihasilkan pernah menulis buku tentang "Peumat Jaroe" (2017), Tata Kelola Pemerintahan dalam Perspektif Syariah di Aceh (2018).

Muhammad Akbar Rafsanjani, lahir pada tanggal 21 September  1990 di Pidie, Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh. Sekarang sedang menyelesaikan pendidikan S-1 di jurusan Pendidikan Bahasa Arab, Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Hilal, Sigli. Beliau adalah salah satu alumni program beasiswa Aceh Documentary Competition 2014 dan program lokakarya School of Seeing, In-Docs. Akbar adalah programmer film pada Aceh Film Festival dan manajer program di pemutaran film alternatif, Aceh Menonton. Beliau juga aktif menulis kritik film di surat kabar lokal Aceh, Serambi Indonesia. Karyanya di film dokumenter adalah film yang berjudul Teungku Rangkang (2014), Muge Man (2017), Nobody Comes (2018).


Azhari dan M. Fauzi (Yayasan Aceh Documentary)
Film Movements in Post-Conflict and Tsunami Aceh
Email: kutagle@gmail.com

Post-conflict and tsunami, cinema in Aceh, Indonesia began to be moved again by the performers. They are familiar with film production equipment through interaction with foreign NGOs that use their services to entertain victims of the earthquake and tsunami trauma. When foreign NGOs leave Aceh, these performers lose their jobs. This situation forced them to transform from acting to film by producing serial comedy films which commented on socio-political issues. These films are distributed through VCD tapes and get a good market in the community. The era of VCD cassette comedy was later replaced by a documentary film which was a new movement of cinema in Aceh. This movement was initiated by self-taught young people who were later affiliated with Indonesian national filmmakers through film festivals. This documentary filmmaker opens an understanding of the film ecosystem and its function as a reflection of life. They do distribution and exhibition through live screens to villages and mosques by Gampong Film program. Documentary filmmakers also make films as a media advocacy for social problems that occur in Aceh. This paper discusses similarities and differences between the two generations of cinema in post-conflict Aceh and the tsunami that played a major role in the development of cinema in Aceh. The generation of comedy films that tend to emphasize the side of the film industry and the generation of documentaries that make film as a tool to communicate and advocate.
Keyword: Aceh, Film, Dokumenter

Azhari, lahir di Samalanga, 17 Agustus 1986. Meraih gelar Sarjana Ilmu Pemerintahan (S.IP) dari Universitas Muhammadiyah Malang pada tahun 2014. Kemudian Melanjutkan Kelas bahasa Mandarin di Nanjing (2017) Nanjing University of The Art.  Pada tahun 2011 menyutradarai Film Dokumenter Pendek Eagle Award Documentary berjudul "Garamku Tak Asin Lagi" . Sekarang sudah menyutradarai lima belas film dokumenter pendek untuk Televisi dan enam film dokumenter pendek secara independen. Saat ini ia aktif sebagai ketua Litbang yayasan Aceh Dokumenter. Selain itu, ia juga ikut mendirikan Aceh Dokumenter (2013) dan Aceh Film Festival (2015).

M. Fauzi, lahir di Tringgadeng, 06 Mei 1987. Meraih gelar Sarjana Pendidikan(S.Pd) dari Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Provinsi Aceh, pada tahun 2014. Pada tahun 2015 ikut terlibat mendirikan Aceh Film Festival dan menjabat sebagai programmer film. Kemudian pada tahun 2018 ia mendirikan ruang putar alternatif Aceh Menonton sebagi wadah untuk screening film secara reguler berbasis komunitas di Aceh. Fauzi juga menjabat sebagai salah satu pimpinan di Aceh Independen Cinema yang merupakan satu-satunya bioskop alternatif di Banda Aceh.

Arfan Adhi Perdana (Universitas Muhammadiyah Malang)
Festival Film Ala Komunitas Film Berbasis Kampus
Email: arfanadhiperdana@gmail.com

Abstract: Malang Film Festival (MafiFest) adalah Festival film yang diselenggarakan oleh komunitas film berbasis kampus, Kine Klub Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Sebagai salah satu program tahunan, MafiFest sudah berhasil digelar selama 15 tahun. Tidak hanya sebagai program divisi, MafiFest hadir sebagai bentuk eksistensi dan peran Kine Klub UMM terhadap perfilman Indonesia khususnya di Malang Raya itu sendiri. Penulis pun tertarik untuk mengetahui bagaimana proses komunikasi organisasi dan manajemen penyelenggaraan Malang Film Festival. Tujuannya adalah untuk mengetahui proses komunikasi organisasi dan manajerial festival film yang diselenggaraan oleh komunitas film berbasis kampus.

Arfan Adhi Perdana, lahir 17 September di pinggiran kota Ketapang (kalbar). Lelaki yang sering dipanggil Panjul oleh teman-teman dekatnya ini berdarah asli Kalasan-Yogyakarta dan kini menetap di Kota Batu. Mengenal film dan komunitasnya sejak 1999 lewat UKM Kine Klub UMM, saat menjalani studi dan tugas akhirnya di Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Kini Dosen Luar Biasa Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang yang memiliki hobi bermain game Football Manager dan menggoreng pisang ini melanjutkan keinginannya untuk meriset dan mengarsipkan perjalanan film dan komunitas film se-Malang Raya lewat kelompok Siar Sinema.

PANEL 9

Space and Environment
Chairs:

Presenters: Heri Purwoko (Universitas Indonesia); Henny Indarwaty (Universitas Gadjah Mada); Ratna Erika (Universitas Padjadjaran); Sri Ratnasetiawati (Institut Kesenian Jakarta); Rosalia Namsai Engchuan (Max Planck Institute for Social Anthropology)

Heri Purwoko (Universitas Indonesia)
Representasi Hewan Dalam Film
Email: aliens.studies@gmail.com

Abstract: Hewan dalam film seringkali berfungsi hanya sebagai pelengkap artistik atau penguat karakter tertentu. Namun pada beberapa film, hewan dihadirkan sebagai representasi dan metafora atas suatu peristiwa dan masyarakatnya. Kasuari dalam film Aku Ingin Menciummu Sekali Saja memang bukan berupa hewan hidup, tetapi ia dihidupkan dan diberi ruang untuk bermain bersama dengan tokoh utama dalam pelariannya. Sementara itu, kanguru dan rusa dalam film Melody Kota Rusa hadir untuk memperkuat dan menjadi refleksi atas karakter para tokoh dalam film. Dalam dua film tersebut, hewan atau wujud visual yang dimiripkan dengan hewan tertentu memiliki peran yang sama pentingnya dengan karakter manusia yang ada. Dengan berbekal teori representasi dan cultural studies, tulisan ini memaknai hewan yang memiliki peran strategis dalam mengartikulasikan stereotip dan sebuah isu dalam cerita film pada tataran yang lebih dari sekadar pelengkap artistik semata.
Kata kunci: hewan, hewan dalam film, Aku Ingin Menciummu Sekali Saja, Melody Kota Rusa

Heri Purwoko adalah dosen di beberapa Universitas Swasta dengan fokus pengajaran pada film dan televisi. Pernah bekerja di televisi swasta dan periklanan visual digital di Jakarta. Lulusan S1 Film IKJ dan S2 Cultural Studies UI ini konsisten menulis tentang studi film dan kini sedang tertarik dengan segala yang bersinggungan dengan Indonesia Timur
___________________________________________________________________________

Henny Indarwaty (Universitas Gadjah Mada)
The Space Representation of Indonesia Landscape in Children’s Movies
Email: henny.indarwaty0305@gmail.com

Abstract: Indonesia Landscape which is prominently seen in three children’s movies released in 2018 is not just an innocent background as setting of the movies but speaks about how meaning about space is created. Kulari ke Pantai (Miles Films Production) creates image of Pulau Rote as the pure and a run-away place from big city’s phony like Jakarta while some other parts of Java are shown as the adventurous places albeit subordinate from Jakarta as the capital city. Petualangan Menangkap Petir (Fourcolours Films Production) presents Boyolali, a part of Indonesia, as subordinate to Hongkong as a big city. As a village, Boyolali is represented as traditional, beautiful, friendly, which is different from cities which are equipped with advanced technology. Koki-koki Cilik (MNC Pictures Production) does not specifically mention places but the main background which is beautifully shot as the setting of the movies shows the beauty of Indonesian Nature. The three children’s movies expose Indonesia landscape to make impression that Indonesia has beautiful, natural places which are not much occupied by gadget as modern technology in which life is seen as a better one. Villages are depicted as good and peaceful places to oppose cities which imply to be phony and fake. However, in the description villages are narrated as subordinate and they are objects of enjoyment.
Keywords: space, subordinate, Indonesia, children’s movies

Henny Indarwaty is a student of doctorate program in Postgraduate School, Gadjah Mada University, majoring in Cultural Studies. She concerns with children’s literature and now she is observing children’s literature including children’s movies in the approach of Cultural Studies.  She taught Contemporary Cultural Issues in English Literature Department of Brawijaya University.

Ratna Erika (Universitas Padjadjaran)
Ruang Rural dan Lokal dalam Dua Webseries Pariwisata Indonesia
Email: ratna.erika@unpad.ac.id

Abstract: Tren film seri web (webseries) dalam ranah perfilman Indonesia terus berkembang. Bentuk film seri web dengan berdurasi pendek ini semakin menjadi bentuk alternatif yang dipilih pembuat film untuk menayangkan karyanya. Bentuk ini dipilih pula oleh program kampanye Pesona Indonesia yang diusung oleh Kementerian Pariwisata Indonesia. Sejak tahun 2017, kanal YouTube milik kampanye pariwisata Pesona Indonesia telah merilis berbagai video promosi destinasi wisata di Indonesia. Lewat media baru digital, kampanye pariwisata ini menampilkan ruang rural dan lokal dari destinasi wisata terpilih dalam kemasan yang ringan dan mudah diakses. Dalam pembahasan ini saya secara khusus menyoroti dua film seri web Toba dan Borobudur (2018). Kedua film seri web ini menampilkan cerita tentang ruang rural dan lokal Indonesia pilihan dalam kemasan urban dan global. Saya bermaksud menelisik ruang-ruang rural dan lokal dalam dua film seri web ini melalui pembahasan tentang tema promosi pariwisata lokal yang diusung dan tatanan sinematografis yang digunakan. Saya berasumsi bahwa tema dan tatanan yang digunakan dua film seri web ini menunjukkan sebuah kompleksitas. Tema promosi wisata yang diusung masih menyisakan jarak antara ruang rural dan urban Indonesia. Sementara keberadaan kampanye pariwisata Pesona Indonesia dalam media baru digital ini tidak sepenuhnya menghasilkan konektivitas kelokalan Indonesia dengan ranah global dunia yang diharapkan.
Kata kunci: film seri web, media baru digital, promosi pariwisata, ruang lokal

Ratna Erika M. Suwarno mengajar di Program Studi Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran. Ia pernah bekerja untuk sebagai pekerja film pada sebuah rumah produksi film di Bandung. Ketertarikan ilmiahnya berkisar dan berkaitan dengan topik kesusasteraan dunia, budaya Internet Indonesia, dan media baru alternatif untuk film. Proyek kelasnya fokus pada kegiatan writing space/place, produksi film documenter, dan kajian budaya. Ia hidup di Bandung dan adalah pengguna setia angkutan umum kota.

Sri Ratnasetiawati (Institut Kesenian Jakarta)
Representasi Konsepsi Ruang Urban Dalam Festival Film
Email: sri.ratnasetiawati@pascasarjanaikj.ac.id

Abstract: Penelitian ini akan mengambil fokus pada dua festival film non-pemerintah yang lahir pasca Orde Baru di kota Yogyakarta, Festival Film Dokumenter dan Jogja-NETPAC Asian Film Festival, dengan melihat pada bagaimana kedua festival ini merepresentasikan konsepsi ruang urban kota Yogyakarta dalam penyelenggaraan dan program festivalnya, terutama setelah mereka mulai menerima dukungan dana dari pemerintah kota. Peneliti berasumsi bahwa kedua penyelenggara festival film bernegosiasi dengan pemerintah kota dalam mempertahankan otonomi penyelenggaraan festival yang sebelumnya sempat berjalan tanpa dukungan pemerintah kota. Penelitian ini bertujuan menemukan rumusan strategi yang dijalankan penyelenggara festival film dalam memenuhi harapan pemerintah kota sebagai salah satu pemberi dana, melalui penggunaan representasi kota Yogyakarta dalam program festival film masing-masing. Metode penelitian ini akan menggunakan mix-method melalui studi pustaka, observasi, wawancara dan pengumpulan catatan lapangan. Penelitian akan berlangsung selama 6 bulan, antara bulan Juli hingga Desember 2019 dengan ruang lingkup penelitian pada penyelenggaraan Festival Film Dokumenter 2019 dan Jogja-NETPAC Asian Film Festival 2019.
Kata Kunci: representasi, konsepsi ruang urban, festival fllm

Sri Ratna Setiawati, yang dikenal dengan nama Lulu Ratna, lahir di Jakarta, lulusan jurusan Antropologi, Universitas Indonesia 1997. Mulai tahun 1999, ia bekerja di beberapa festival film, seperti Jakarta International Film Festival, Festival Film-Video Independen Indonesia, Europe on Screen dan Festival Film Dokumenter Asia Tenggara “ChopShots”, serta diundang menjadi juri di beberapa festival film nasional dan internasional. Sejak 2003, ia aktif di Organisasi boemboe (boemboe.org), salah satu organisasi komite seleksi calon Nominasi Film Pendek Festival Film Indonesia 2017 dan 2018. Selain aktif memberikan workshop festival film bersama COFFIE (Coordination for Film Festival in Indonesia), ia mengajar Mata Kuliah Film Festival: Theory & Practice di Program Studi Film, Universitas Multimedia Nusantara. Ia kini bekerja sebagai Sekretaris Komite Film Dewan Kesenian Jakarta (2016-2019) dan sejak tahun 2018 tercatat sebagai mahasiswa Pengkajian Seni Urban di Sekolah Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta.


Rosalia Namsai Engchuan (Max Planck Institute for Social Anthropology)
The Politics of Environmental Crisis Visualization in Indonesian Short Films
Email: engchuan@eth.mpg.de

Abstract: In my paper I will situate Indonesian short films in the broader context of global environmental crisis discourse. I propose to think about the politics of Anthropocene conceptualization and visualization with two short films from Indonesia. In doing so, I aim to critically challenge the very fundamental and often unspoken assumptions of the Anthropocene thesis and argue for the importance of local stories and ontologies. I propose that looking at these films as ethnography offers conceptual tools to test, rethink and theoretically challenge the Anthropocene thesis. SEORANG KAMBING (A (a/one person) GOAT) is an apocalyptic sciencefiction- story set in a future where the anticipated horrors of environmental crisis are already real: mythical powers have taken over, animals turned into stone, water is scarce and women have long left. OJEK LUSI (TOUR ON MUD) is a hopeful social realist documentary following humans negotiating the aftermath of the worlds largest mud volcano that swallowed sixteen villages in 2006. They are now offering DVDs and motorbike tours to curious visitors. The films address common tropes of climate change discourse: post-industrial disaster and water scarcity. But they do so from different temporalities and spatialities. In Indonesia the temporality of environmental crisis discourse is different. The apocalypse does not linger on the horizon. It already happened. Grounded in alternative cosmologies they use different visual languages. These films challenge dominant narratives about climate change and its obfuscations and hint to the potential of incorporating other ways of knowing and languages in thinking about and from within environmental crisis.

Rosalia Namsai Engchuan is a social anthropologist and filmmaker working with audio visual media creators in Southeast Asia. Her PhD research is concerned with the roots and becoming of the larger ecosystem of independent film communities - the space where mostly short films are made, screened and discussed. Rooted in her insights on the process of filmmaking as a collective act Rosalia´s methodology of ethnographically informed film analysis offers unusual insights on acts of nationmaking trough cinematic practices covering a range of topics such as religion, gender normativity, history-altering and human-environment relations. Rosalia is especially interested in the ways art practitioners negotiate social issues through their artistic practices. She is currently working on a multimedia project to explore the possibilities of making academic arguments using audio-visual languages.

Comments

Popular Posts